Hingga Awal Mei 2022, Kejaksaan Hentikan 1.070 Perkara Secara Restorative Justice
Jakarta |
Pada tahun 2020 Kejaksaan Republik Indonesia (RI) terus mendapat desakan dari masyarakat untuk tidak melanjutkan penuntutan terhadap tindak pidana yang tidak perlu untuk dituntut dan sifatnya ringan.
Tidak hanya karena biaya penuntutan perkara yang mahal, tetapi masyarakat juga menuntut agar Jaksa lebih fokus kepada pemulihan korban daripada menghukum berat pelaku yang seringkali juga hidup dalam kemiskinan.
Hal itu disampaikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Fadil Zumhana, saat menghadiri Acara United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Side Event Pertemuan Sesi ke 31 Commission on Crime Prevention and Criminal Justice (CCPCJ), di Gedung Menara Kartika Adhyaksa, Jakarta, Rabu (18/5).
Acara dengan tema ‘Penguatan Supremasi Hukum melalui Keadilan Restoratif’ dihadiri langsung secara daring oleh UNODC Indonesia Country Manager and Liaison to ASEAN Collie F Brown, Chair of the European Forum for Restorative Justice Tim Chapman, dan Project Manager/Lead Researcher-Thailand Institute of Justice Ukrit Sornprohm.
Pada kesempatan itu, Fadil mengatakan bahwa untuk mengakomodir tuntutan tersebut, kejaksaan menggunakan kewenangan diskresinya untuk mengesampingkan perkara yang tidak perlu dituntut selama hak korban dipenuhi oleh pelaku kejahatan.
Dirinya pun menyampaikan pada prinsipnya harus dipahami bahwa Kejaksaan di Indonesia tidak harus selalu menuntut suatu tindak pidana. Hal ini karena undang-undang di Indonesia tidak mengenal konsep bahwa menuntut adalah suatu kewajiban (mandatory prosecution).
Sebaliknya, tambahnya, sistem hukum Indonesia menganut prinsip diskresi penuntutan, di mana kejahatan akan dituntut, hanya jika penuntutan itu dianggap tepat dan lebih bermanfaat bagi kepentingan umum.
“Dengan kata lain, penuntut umum tidak hanya berwenang untuk menuntut setiap perkara pidana, tetapi juga berwenang untuk tidak melanjutkan penuntutan berdasarkan penilaian jaksa,” jelasnya.
Selanjutnya Jampidum Fadil Zumhana menjelaskan ada beberapa kriteria perkara yang dapat dijatuhkan atau dikesampingkan dengan menggunakan prinsip penuntutan diskresioner.
”Seperti tindak pidana dilakukan baru pertama kali, bukan tindak pidana yang berat, serta nilai, atau kerugian yang ditimbulkan, tidak terlalu besar,” terangnya.
Disamping itu, sambungnya, juga perlu diperhatikan faktor lain, seperti terdakwa merupakan masyarakat, yang secara ekonomi kurang beruntung atau terdakwa adalah satu-satunya pencari nafkah keluarga, dimana keluarga akan ikut menderita apabila pelaku ditahan.
“Di sisi lain, sangat disayangkan para korban dalam sistem peradilan pidana seringkali tidak mendapatkan kebutuhan, dukungan, dan pemulihan, meskipun penuntutan kasus pidananya telah berakhir. Untuk itu, diperlukan paradigma baru untuk mengatasi hal ini dalam sistem peradilan pidana dengan pendekatan keadilan restoratif,” tutur Fadil.
Jampidum Kejagung itu melanjutkan, bahwa salah satu bentuk diskresi penuntutan di Indonesia adalah penghentian penuntutan melalui penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif untuk menghentikan perkara pidana yang sifatnya ringan.
“Secara prinsip, pendekatan keadilan restoratif digunakan sebagai mekanisme praktis. Meskipun bentuk mediasi penal ini tidak diatur secara tegas dalam hukum acara pidana Indonesia, namun Penuntut Umum masih memiliki kendali penuh atas penuntutan suatu perkara dan menggunakan kewenangannya untuk melakukan pemulihan,” tukasnya.
Dijelaskan Fadil, dalam praktik setelah mempertimbangkan asas proporsionalitas dan subsidiaritas, Penuntut Umum akan menentukan apakah suatu perkara memenuhi syarat untuk diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.
“Penuntut Umum mengupayakan perdamaian dengan cara menawarkan kepada korban dan pelaku untuk berdamai. Tata caranya, sedikit banyak mengadopsi Prinsip Dasar Penggunaan Program Keadilan Restoratif. Dalam Masalah Pidana yang dihasilkan oleh Kongres Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelaku Kejahatan pada tahun 2000,” paparnya.
Ia juga mengemukakan, bahwa setelah berlakunya Peraturan Jaksa Agung RI (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, banyak tindak pidana yang sifatnya ringan, dihentikan dan tidak dilanjutkan penuntutannya.
“Sampai dengan awal Mei 2022, Kejaksaan telah menghentikan sedikitnya 1.070 perkara, dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Banyak kisah inspiratif yang terjadi pada perkara yang dihentikan dengan pendekatan keadilan restoratif, dimana penghentian penuntutan tersebut telah memperkuat penerapan model keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia,” ulasnya.
Berdasarkan survei penelitian yang dilakukan oleh Komnas HAM, sebesar 85,2 persen responden mendukung penerapan pendekatan keadilan restoratif untuk menghentikan perkara pidana yang tidak perlu serta kejahatan yang sifatnya ringan.
Hal tersebut dijelaskan Fadil karena mengingat kondisi penjara di Indonesia sudah terlalu padat, masyarakat menuntut reformasi serius dalam praktik penegakan hukum yang cenderung berfokus pada pembalasan dengan pemenjaraan, daripada memulihkan keadilan.
Singkatnya, ia menggarisbawahi, penting untuk menemukan solusi, mengurangi jumlah narapidana di lembaga pemasyarakatan. Penerapan praktik keadilan restoratif diharapkan membawa konsekuensi mengurangi napi di lembaga pemasyarakatan.
“Untuk meningkatkan penerapan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana Indonesia, kearifan lokal juga dibawa masuk sebagai salah satu sumber penting dalam memperkaya proses penyelesaian perkara, dengan pendekatan keadilan restoratif,” terangnya lagi.
Jampidum kembali menjelaskan, bahwa dengan pendekatan keadilan restoratif setidaknya ada tiga poin penting yang harus direnungkan. Dia memaparkan, pertama adalah keadilan restoratif memperkuat kohesi sosial antar anggota masyarakat.
Kemudian kedua, memotivasi kejaksaan untuk terlibat dalam tujuan keadilan, yaitu pemulihan, bagi mereka yang membutuhkannya.
Terakhir, yaitu penerapan proses keadilan restoratif akan mendorong pelaku untuk merenungkan PERILAKU yang salah dan kerugian yang ditimbulkannya termasuk bagaimana ia harus MEREHA-BILITIR dirinya.
”Harapannya adalah penerapan keadilan restoratif dapat membantu pemerintah mengurangi residivisme, melestarikan nilai-nilai keadilan lokal dan mendorong rekonsiliasi antara korban, dan pelaku di masyarakat,” pungkas Fadil.
Berita: Mh/Gate 13 | Foto: Ist.