Ekonomi

Misi Advokasi Teh Indonesia ke Eropa Raih Sinyal Positif

Jakarta |
Dirjen Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan menyampaikan bahwa upaya misi advokasi advokasi Indonesia Tea Trade Mission (ITTM) ke Eropa menunjukkan sinyal menggembirakan.

“Misi advokasi ITTM yang berlangsung 3-9 Desember 2017 lalu itu, kata OKE, dalam rangka pengamanan dan peningkatan akses pasar ekspor teh di Eropa.

Beberapa pertemuan telah dilakukan ITTM dengan sejumlah pihak, antara lain Tea & Herbal Infusion Europe (THIE) dan Eurofins Scientific di Hamburg, Jerman, buyer teh Inggris dan Eropa di London, Inggris, serta Directorate General for Health and Food Safety (DG SANTE) dan Directorate General for Trade (DG TRADE) Komisi Eropa di Brussel, Belgia.

“Pada konsultasi teknis dengan THIE, Delegasi ITTM berhasil memperoleh masukan, bahwa kajian yang dilakukan Indonesia terhadap ambang batas residu anthraquinone (AQ) cukup konkret,” ujar Oke di Jakarta, Kamis (18/1).

Namun, lanjut Oke, ambang batas AQ bisa diubah jika ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa AQ sebagai kontaminan yang tidak terhindarkan.

Dijelaskan Oke, Indonesia mengupayakan agar ambang batas residu AQ dalam daun teh kering dapat ditetapkan dengan nilai yang lebih realistis, yaitu sebesar 0,2 mg/kg karena tidak berbahaya bagi konsumen.

“Nilai ini diperoleh melalui riset yang dilakukan dengan mempertimbangkan analisis risiko,” ungkap Oke.

Menurutnya, ambang batas residu yang ditetapkan atas dasar kehati-hatian (precautionary principle) dalam Peraturan Komisi Eropa Nomor 1146/2014 yaitu sebesar 0,02 mg/kg dinilai Indonesia terlalu ketat.

Selain itu, pertemuan dengan laboratorium Eurofins Scientific juga membuka peluang kerja sama antara laboratorium Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu (Ditstandalitu), Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan dengan laboratorium tersebut.

“Peluang ini terbuka karena laboratorium Ditstandalitu telah memiliki kapabilitas yang terakreditasi untuk menguji AQ pada teh serta menggunakan metode pengujian sesuai dengan standar laboratorium di Jerman,” kata Oke.

Atas peluang ini, sambungnya, proposal kerja sama laboratorium Ditstandalitu dengan laboratorium Eurofins dan sosialisasi profil laboratorium Ditstandalitu beserta publikasi hasil uji AQ kepada konsumen lokal dan internasional perlu segera ditindaklajuti.

“Ini dimaksudkan agar pengujian AQ dapat dilakukan di Indonesia sehingga dapat mengurangi beban biaya dan waktu produsen teh Indonesia,” terang oke dalam keterangan persnya.

Hasil lainnya, Oke menambahkan, para pemangku kepentingan teh Indonesia menerima masukan penting dari buyer Uni Eropa dari hasil networking.

“Teh Indonesia diperlukan karena memiliki keunggulan rasa dan jenis teh tertentu seperti black tea dan white tea,” tutur Dirjen Daglu itu.

Oke Nurwan menggarisbawahi, Indonesia harus terus memperhatikan pentingnya keamanan pangan (food safety) dan ketelusuran (traceability) dalam perdagangan teh di Inggris dan Eropa.

“Konsistensi dalam kualitas teh, kecepatan distribusi dan logistik, serta harga yang kompetitif juga harus terus dijaga sekalipun dalam perdagangan teh melalui lelang,” ungkapnya.

Sedangkan melalui pertemuan dengan DG SANTE diketahui bahwa kebijakan ambang batas AQ berlaku untuk semua negara dan ditetapkan berdasarkan riset ilmiah oleh European Food Safety Authority.

Oke menjelaskan, AQ adalah residu pestisida yang bersifat karsinogenik sehingga tidak bisa dinegosiasikan, namun pihak UE tetap terbuka menerima hasil kajian ilmiah baru yang dapat merasionalisasi bahwa ambang batas AQ terlalu ketat.

“Terhadap hasil kajian ilmiah Indonesia, pihak UE mengundang Pemerintah Indonesia untuk mengirimkan hasil kajian secara lengkap agar dapat dikolaborasikan dengan peneliti dan laboratorium di UE,” pungkasnya.

Sementara itu, Pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan teh juga perlu menindaklanjuti berbagai saran dan masukan dari para pemangku kepentingan teh di Eropa serta memperbaki sistem pemrosesan teh di perkebunan teh nasional untuk dapat memenuhi persyaratan ambang batas AQ.

Kunjungan ITTM dilakukan karena kebijakan impor Uni Eropa yaitu Peraturan Komisi Eropa Nomor 1146/2014 telah menghambat ekspor teh Indonesia ke kawasan tersebut.

Kebijakan yang diterbitkan pada 23 Oktober 2014 dan berlaku mulai 18 Mei 2015 ini mempersyaratkan ambang batas (Maximum Residue Level AQ) pada teh sebesar 0,02 mg/kg. Kebijakan tersebut berdampak pada menurunnya nilai ekspor teh Indonesia ke UE.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor pada tahun 2016 tercatat sebesar USD 15,9 juta, atau berkurang 20,13 persen dibandingkan dengan nilai ekspor di tahun 2015 yang sejumlah USD 19,9 juta.

Tren penurunan juga terjadipada volum dan nilai ekspor teh Indonesia ke Uni Eropa dengan rata-rata sebesar 20 persen dalam lima tahun terakhir.

Berita: Mh | Foto: Istimewa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.