Pendidikan

FGD MA Bahas Naskah Kebijakan Kewenangan Pelantikan Cakim Jadi Hakim

Jakarta |
Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (RI) menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang membahas naskah kebijakan kewenangan pelantikan calon hakim (cakim) menjadi hakim oleh Ketua MA RI.

Kegiatan diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Hymne MA RI, dilanjutkan penyampaian laporan kegiatan dari Kepala Pusat Strategi Kebijakan (Kapustrajak) Hukum dan Peradilan (Kumdil) MA RI Andi Akram dan sambutan pembukaan oleh Kepala Badan Strajak Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kumdil MA RI Bambang Heri Mulyono.

Dalam kegiatan FGD tersebut, Wakil Ketua Mahkamah Agung (WKMA) RI Bidang Non Yudisial Suharto hadir sebagai keynote speaker atau pembicara utama.

Dalam paparannya ia menyampaikan, kewenangan pelantikan cakim menjadi hakim oleh Ketua MA RI adalah isu hukum yang up to date. Mengingat, baru saja Presiden RI Prabowo Subianto melakukan pelantikan para kepala daerah secara serentak.

“Dikarenakan selama ini kewenangan pelantikan kepala daerah setingkat wali kota atau bupati dilakukan oleh gubernur atau Menteri Dalam Negeri (Mendagri) secara berjenjang,” ujarnya, dilansir portal MARINews.com, Selasa (18/3).

Lebih lanjut, Suharto menyampaikan, bahwa sebagai pemimpin tertinggi di lingkungan kekuasaan pemerintahan (eksekutif), presiden dapat menarik delegasi dan mengambil alih kewenangan untuk melakukan pelantikan bupati atau wali kota sebagai kepala daerah secara serentak, sebagaimana ketentuan Pasal 164B Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016.

“Bilamana disamakan dengan bupati atau wali kota yang dilantik serentak oleh presiden, maka hakim merupakan pejabat negara dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yang mungkin dilantik secara serentak oleh Ketua MA RI,” terangnya.

Namun kendalanya, sambung Suharto, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang badan peradilan tidak memberikan kewenangan secara atributif kepada Ketua MA RI untuk lakukan pelantikan calon hakim menjadi hakim.

WKMA RI Bidang Non Yudisial juga menyampaikan, dalam UU Peradilan Umum, Agama dan Tata Usaha Negara (TUN) menentukan, hakim pengadilan tingkat pertama diambil sumpahnya oleh ketua pengadilan tingkat pertama. Sedangkan Ketua MA RI diberikan kewenangan melantik ketua pengadilan tingkat banding.

“Sehingga, pengambilan sumpah hakim tingkat pertama menjadi hakim oleh ketua pengadilan tingkat pertama seperti layaknya pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) lainnya di lingkungan pengadilan seperti panitera, sekretaris, panitera pengganti dan juru sita atau juru sita pengganti,” jelasnya.

Padahal, kata Suharto menggarisbawahi, apabila merujuk pada ketentuan Pasal 58 huruf e UU Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pasal 19 jo Pasal 31 UU Kekuasaan Kehakiman, menyatakan, kedudukan hakim sebagai pejabat negara. Maka seyogianya dilakukan penyesuaian terhadap pelantikan hakim sehingga dapat dibedakan dengan pelantikan pejabat PNS lainnya.

Selain itu, sambungnya, berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman telah ditegaskan pula bahwa dalam sistem peradilan satu atap (one roof system) pembinaan organisasi, administrasi dan finansial MA dan badan peradilan di bawahnya berada di bawah MA RI.

“Hal itu menarik didiskusikan, khususnya mengenai penafsiran hukum yang memungkinkan Ketua MA selaku pimpinan kekuasaan kehakiman untuk melakukan pelantikan calon hakim menjadi hakim,” tegas Suharto.

Menurut WKMA RI Bidang Non Yudisial tersebut, berdasarkan analisis regulasi, evaluasi praktik empiris dan kajian konseptual, terdapat tiga pilihan kebijakan yang dapat diambil untuk pelantikan calon hakim menjadi hakim oleh Ketua MA, yakni pertama, pengambilan sumpah dan pelantikan oleh Ketua MA. Kedua, pelantikan (tanpa pengambilan sumpah) oleh Ketua MA. Ketiga, pengukuhan oleh Ketua MA pasca terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Pengangkatan Hakim.

“Kegiatan FGD yang melibatkan para ahli hukum baik internal atau eksternal MA RI, akan memperkuat tiga usulan kebijakan,” ungkap mantan Jubir MA RI tersebut.

Sesi pemaparan materi oleh para narasumber dan diskusi. (Foto: Ist./Dok. MA)

Di ujung paparannya, WKMA Non Yudisial menyampaikan ucapan terima kasih kepada tim peneliti yang dikoordinatori oleh Budi Suhariyanto. Selain itu, kegiatan FGD diharapkan memperkuat usulan dari tiga kebijakan hasil penelitian naskah kebijakan kewenangan pelantikan calon hakim menjadi hakim oleh Ketua MA RI.

Setelah WKMA RI Non Yudisial Suharto selesai memberikan pemaparan, berikutnya dilanjutkan dengan sesi pemaparan materi oleh para nara sumber dan diskusi.

Pemaparan pertama disampaikan oleh Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Bengkulu atau anggota Tim Peneliti Naskah Kebijakan Lilik Mulyadi, dan dilanjutkan oleh beberapa ahli hukum yaitu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Jimly Asshiddiqie, dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (FH Unpad) Bagir Manan.

Adapun sesi pemaparan materi dan diskusi tersebut dimoderatori oleh Hakim Yustisial pada Kamar TUN MA RI Sudarsono.

Kegiatan juga dihadiri peserta yang terdiri dari Direktur Pembinaan Tenaga Teknis dari berbagai lingkungan peradilan, Kepala Biro (Karo) Hukum dan Humas MA RI, Karo Kepegawaian MA RI, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Kapusdiklat) Teknis Peradilan, Badan Strajak Diklat Kumdil MA RI, Kapusdiklat Menpim Badan Strajak Diklat Kumdil MA RI, Kepala Bagian (Kabag) Peraturan Perundang-undangan BUA MA RI, peneliti BRIN, peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independen Peradilan (LeIP), serta Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).

Berita: Gate 13 | Foto: Ist./Dok. MA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.