July 27, 2024

RUU PSDN Sukses Akomodasi Prinsip Demokrasi dan HAM

Komcad Sukarela, Mobilisasi Proporsional, dan Ancaman Hibrida Masuk ke RUU PSDN“.

Denpasar |
Banyak Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dikebut oleh DPR RI diakhir masa bakti 2014-2019 ini. Diantaranya, RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara.

Pada awalnya, RUU ini mendapat beberapa sorotan dari kelompok masyarakat sipil. Pertama, kekhawatiran bahwa RUU ini tidak mengadopsi prinsip dan norma Hak Asasi Manusia (HAM) dengan mewajibkan latihan dasar militer (latsarmil).

Kedua, tiadanya peluang bagi warga negara yang sudah menjadi Komponen Cadangan (Komcad) untuk mengubah opsi ketika mobilisasi. Ketiga, soal pembiayaan selain APBN, seperti dari APBD dan sumber lain.

Perkembangan RUU itu dinilai sangat positif oleh Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI), Arya Sandhiyudha.

“Sepertinya Komisi I DPR RI dan Kementerian Pertahanan (Kemhan) sangat responsif. Semua prinsip aspirasi kelompok masyarakat sipil terjawab dalam proses pembahasan RUU,” kata Arya, di Jakarta, Minggu (22/9).

Komcad Bersifat Sukarela

Arya menanggapi bahwa RUU ini sudah sukses mengakomodir aspirasi ketika telah memasukkan penegasan bahwa Komcad sifatnya sukarela, bukan wajib.

“Yang diwajibkan nanti hanya pendidikan Bela Negara. Kalau latsarmil sebagai Komcad tidak wajib tapi sukarela untuk mendaftar. Nampaknya, skema usulan Komisi I disepakati sebagai mekanisme,” ucapnya.  

Menurut Pengamat Politik Internasional itu, perubahan tersebut yang membuat akhirnya dalam RUU terkini Komcad bersifat sukarela dengan cara mendaftarkan diri.

Ia berpendapat, untuk Indonesia memang paling tepat memilih model voluntary (sukarela) seperti di Kanada, Inggris, dan Australia.

Negara yang menerapkan wajib militer, lanjut Arya, biasanya punya 2 alasan, pertama adalah ukuran geografis dan populasinya sangat kecil seperti Singapura. Bisa juga punya persepsi potensi perang yang sangat tinggi, diantaranya seperti Mesir, Israel, Turki, Iran, Korea Utara, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Rusia.

Adapun terhadap kekhawatiran kedua yaitu mengenai kritik tidak ada opsi bagi Komcad menolak ketika mobilisasi. Sedangkan sewaktu sudah menjadi Komcad lalu ada mobilisasi tentu tidak ada opsi lain.

“Di semua negara begitu, termasuk negara-negara demokrasi. Kalau nggak mau ya jangan daftar Komcad. Justru itukan tujuannya seorang mendaftar Komcad,” sebut Master bidang Studi Strategis Nanyang Technological University (NTU) Singapura itu.

Menurutnya, mobilisasi dalam RUU ini juga telah diatur sedemikian rupa, “Mobilisasi hanya dalam darurat dan dalam proses pembahasan RUU akhirnya dimasukkan klausul musti ada persetujuan DPR RI,” tukasnya.

Arya yang merupakan Doktor bidang Ilmu Politik dan Hubungan Internasional ini kembali menilai, bahwa prinsip sukarela untuk menjadi Komcad sudah cukup dianggap menghormati HAM.

“Milih status komcad di awal secara sukarela itu sudah menghormati HAM. Saya sudah nggak melihat ada hal lain yang lebih penting, karena prinsip sukarela sudah diakomodir. Pembatasan lain yang juga memenuhi unsur HAM adalah Komcad sendiri memiliki Batasan waktu, jadi tidak berlangsung terus-menerus,” tuturnya.

Perihal kekhawatiran ketiga, masalah pembiayaan dari sumber selain APBN dan APBD, Doktor Bidang Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Istanbul University, Turki itu melihat dan sepakat, bahwa pembiayaan harus diikat dengan mekanisme APBN.

“Jadi Kementerian Keuangan nanti musti membuat Peraturan Menteri (Permen) untuk mengatur mekanisme. Pembiayaan sumber lain tidak boleh berjalan sebelum Permen itu dikeluarkan dan disahkan,” tambahnya.

Namun di sisi lain, sambungnya, ini justru membuka peluang warga negara untuk berpartisipasi, misalnya pihak swasta dapat ikut menyukseskan pendidikan bela negara tanpa musti membebankan APBN. “Ini adalah ruang partisipasi publik yang sangat positif dalam agenda bela negara,” katanya.

Prinsip Proporsionalitas dalam Mobilisasi

Arya melihat, di luar kekhawatiran kelompok masyarakat sipil tersebut, sejumlah poin perbaikan dari Draft awal Pemerintah juga telah memperkaya muatan menjadi jauh lebih maju dan progresif dalam ukuran demokrasi, HAM, dan kebebasan sipil.

Diyakini oleh Arya, masuknya asas proporsionalitas itu juga bagus sekali. Asas itu untuk memastikan bahwa tindakan negara dalam melakukan mobilisasi harus proporsional. “Asas proporsionalitas ini juga yang kerap digunakan oleh pengadilan HAM Internasional,” jelasnya.

Hybrid Threats Masuk Lingkup Ancaman

Poin lain yang juga positif, menurut Arya, terdapat muatan baru yang disepakati dalam pembahasan RUU ini yang menegaskan urgensi optimalisasi sumber daya nasional selain untuk ancaman nyata seperti Separatisme, namun juga untuk ancaman terkini.

“Draft awalnya hanya ancaman militer dan non-militer, namun RUU terkini lebih aktual menyepakati hybrid threats, artinya serangan siber, disinformasi, tekanan ekonomi, pengiriman sekelompok pasukan non-militer juga dimasukkan dalam konsideran. Sebab memang tipe ancaman pertahanan sudah demikian berubah dari aspek kecepatan, skala, dan intensitas,” terangnya.

Jadi, Arya menggarisbawahi, doktrin dasarnya tetap pertahanan semesta, tapi potensi yang diberdayakan lebih beragam secara kompetensi dan kepakaran.

Dibanding draft awal yang banyak sekali kekurangan, Arya Sandhiyudha juga menilai banyak hal progresif yang layak diapresiasi dari kedua pihak pembahas, baik Komisi I DPR-RI ataupun Kementerian Pertahanan. “Itu artinya mereka mendengar, dan mengakomodir ragam kritik perbaikan,” pungkasnya.

Berita: Sigit | Foto: Istimewa/Dok.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.