EkonomiPeristiwa

Sistem ‘Benchmarking’ Didorong dalam Proses Pemeriksaan Pajak

Banten |
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Darmin Nasution mengutarakan soal perlunya membuat suatu benchmarking dalam proses pemeriksaan pajak dari suatu badan usaha tertentu.

Tujuannya supaya memudahkan pemeriksa pajak agar tidak perlu memeriksa semuanya. Selain itu, benchmarking akan dapat mendorong badan usaha tersebut untuk memenuhinya, jika ia masih berada di bawah standar tersebut.

“Kalau ada satu perusahaan mengeluarkan Sistem Pemberitahuan Tahunan (SPT), tetapi angkanya ada di bawah benchmark (yang sudah ditentukan) ya harus diperiksa,” kata Darmin saat menghadiri Seminar Nasional Perpajakan di Kampus  Politeknik Keuangan Negara STAN (PKN STAN), Bintaro, Tangerang, Banten, Rabu (24/4).

Namun disatu sisi, sambungnya, yang sudah melewati benchmark, boleh diberikan ucapan terima kasih (karena sudah bagus dalam pelaporan pajaknya

Diyakini oleh Darmin, benchmarking takkan memberi beban berlebihan bagi si pemeriksa pajak, sebab mereka hanya akan memeriksa yang perlu diperiksa saja. Sedangkan, bagi perusahaan sendiri, dengan adanya benchmarking akan memacu mereka untuk lebih serius lagi dalam pembuatan SPT-nya.

“Tidak perlu waktu lama dalam membuat benchmarking, cukup 1-2 tahun saja. Selain itu, dengan benchmarking juga akan dapat mengukur growth si perusahaan tersebut,” ujarnya.

Menurutnya, saat ini banyak perusahaan yang sudah membangun platform digital untuk operasional usahanya, baik di sektor perdagangan maupun keuangan. Karena itu, ia menganggap di sektor pajak sudah sepatutnya dibangun juga sistem digital yang lebih mapan lagi. Lebih dari sekadar sistem pelaporan pajak tahunan saja.

“Tapi jangan mengira bahwa di negara maju itu sudah selesai dengan sistem perpajakan dalam era digital. Mereka juga masih jauh dari itu. Tapi dunia terus berkembang, jadi yang harus dipikirkan adalah bagaimana strateginya supaya Indonesia bisa pelan-pelan masuk ke era digital itu,” ucap Darmin.

Salah satu persoalan dalam merancang kebijakan perpajakan dalam ekonomi digital, menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution, adalah ketika  pajak penghasilan (PPh) dari suatu perusahaan hanya dilihat dari profit yang diperolehnya saja. Padahal, masih banyak perusahan startup digital yang profitnya nol atau malah negatif.

“Jadi yang harus diperhatikan adalah obyektif dari perusahaan di bidang digital tersebut. Ukurannya bisa dari pendapatan (revenue), kontrak, dan/atau user. Dari sanalah nilai atau value dari perusahaan digital bisa dihitung. Bisa jadi pembukuan mereka rugi, tapi company value-nya naik terus, sehingga dia mampu mendapatkan investor (untuk memajukan usahanya),” paparnya.

Karena itu, lanjutnya, harus ada perubahan konstruksi dari aturan perpajakan Indonesia di masa depan. Dalam kesempatan itu, Menko Perekonomian sedikit mengritik soal sistem e-filling SPT, yang menurutnya masih agak menyulitkan.

“Pasalnya, sistem e-filling masih belum memungkinkan penggunanya untuk menyimpan data-data yang sudah ia masukkan sebelumnya, apabila ia belum selesai mengisi semua form-nya dalam sekali pengisian,” imbuh Menko Darmin.

Seminar yang mengambil tema ‘Peran Automatic Exchange of Information dalam Meningkatkan Performa Perpajakan Nasional’ ini merupakan bagian dari rangkaian acara Pekan Raya Perpajakan Nasional 2019 yang secara rutin diadakan PKN STAN setahun sekali.

Turut hadir dalam seminar tersebut antara lain Rahmadi Murwanto,Direktur PKN STAN Awan Nurmawan Nuh, Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Kementerian Keuangan Rionald Silaban, Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Kementerian Keuangan Leli Listianawati, Kepala Sub Direktorat Pertukaran Informasi Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak Darussalam, Managing Partner Danny Darussalam Tax Center(DDTC).

Berita: Mh | Foto: Istimewa/Humas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.