Opini

Regulasi Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara

Oleh Arya Sandhiyudha, Ph.D*

BANYAK RUU yang dikebut DPR RI di akhir masa bakti 2014-2019 ini. Diantaranya, RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara. Pada awalnya, RUU ini mendapat beberapa sorotan dari kelompok masyarakat sipil. Pertama, kekhawatiran bahwa RUU ini tidak mengadopsi prinsip dan norma Hak Asasi Manusia (HAM) dengan mewajibkan latihan dasar militer (latsarmil). Kedua, tiadanya peluang bagi warga negara yang sudah menjadi Komponen Cadangan (Komcad) untuk mengubah opsi ketika mobilisasi. Ketiga, soal pembiayaan selain APBN, seperti dari APBD dan sumber lain.

Akan tetapi, berbeda dengan beberapa RUU lain yang kontroversi di public, perkembangan RUU ini sangat positif sekarang, karena sepertinya Komisi I DPR RI dan Kementerian Pertahanan (Kemhan) sangat responsive, termauk terhadap tiga sorotan yang penulis urai di awal. Semua prinsip aspirasi kelompok masyarakat sipil terjawab dalam proses pembahasan RUU.

Pilihan Model Indonesia: Sukarela

Rancangan Undang Undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (RUU PSDN) untuk Pertahanan Negara yang tengah memasuki tahap akhir pengesahan ini telah memilih model khas Indonesia. Diantara latar pilihan tersebut, pertama, kalau pendidikan kewarganegaraan/Bela Negara di negara manapun itu wajib dan mekanisme dapat fleksibel, misalnya via sekolah, perusahaan, dan lainnya. Maka itulah RUU ini hadir untuk memperkuat legitimasi kewajiban pelatihan Bela Negara yang sebagian programnya sudah berjalan.

Dalam praktik negara-negara di dunia terdapat beberapa perbedaan yang menjadi opsi terkait pola partisipasi warga negara ke dalam latihan dasar militer sebagai Komcad. Diantara variasi tersebut setidaknya ada empat model: 1) Sukarela, dimana warga negara baru menjadi Komcad apabila mendaftar secara sukarela; 2) Wajib, dimana semua warga wajib dalam rentang usia tertentu diwajibkan mengikuti Komcad; 3) Otomatis, dimana beberapa kelompok masyarakat tertentu otomatis direkrut dan dianggap menjadi bagian dari Komcad; 4) Situasi, dimana semua warga negara diputuskan menjadi kekuatan milisi yang siap dimobilisasi pada saat negara dalam status darurat perang.

Kedua, kebijakan terkait proses warga negara untuk masuk menjadi Komcad, Indonesia memilih model sukarela, seperti di Kanada, Inggris, dan Australia, yaitu model pertama dari empat model yang disebut dalam tulisan ini. Ini artinya negara juga tetap mendorong optimalisasi teknologi dan industri pertahanan. Mirip dengan yang ada di banyak film termasuk yang terkini: Angel Has Fallen, model ancaman serangan berubah menjadi teknologi tinggi.

Model kedua wamil; biasanya ada 2 (dua) ciri negara: rasionalitas pertama, negara yang merasa sangat kecil ukuran geografis atau populasinya seperti Singapura, atau kedua, negara yang punya persepsi kewaspadaan dan ancaman perang sangat tinggi, misalnya Korea Selatan, Israel, Mesir, Turki, Amerika Serikat. Persepsi yang disepakati Indonesia tidak masuk dalam model negara seperti ini. Maka, idealnya Indonesia memilih cara yang sukarela mendaftar untuk dimasukkan menjadi Komcad.

Model ketiga yang otomatis memasukkan beberapa kelompok yang dianggap sebagai Komcad, speperti Jepang: ada pemadam kebakaran, resimen mahasiswa (menwa), purnawirawan dan lain-lain. Indonesia juga punya kelompok-kelompok serupa yang hingga dalam pembahasan akhir didiskusikan perlu dapat dianggap “rakyat terlatih” yang dapat secara otomatis melampaui beberapa tahap dalam Komcad, misalnya tanpa perlu mengikuti ulang latsarmil.

Model keempat ketika negara darurat semua jadi kekuatan milisi yang bisa di mobilisir. Indonesia tentu juga akan melaksanakan ini ketika negara dalam kondisi darurat.

Pilihan model ketiga ini artinya RUU ini berhasil mengubah dan memasukkan penegasan bahwa Komcad sifatnya sukarela. Sejak awal sebenarnya draft Pemerintah juga hanya mewajibkan pelatihan Bela Negara dan tidak punya tujuan untuk menerapkan wajib untuk mengikuti latsarmil sebagai Komcad. Akan tetapi, sepertinya sebagai ikhtiar maksimal untuk menghindari kegalauan publik Komisi I mengusulkan skema baru yang lebih eksplisit dan runut secara teks sehingga segala mekanisme lebih mudah dipahami dimana Pemerintah kemudian menyetujui dan bersepakat. Akhirnya, dalam RUU terkini yang akan disahkan di sepakati bahwa Komcad itu sifatnya sukarela dengan cara mendaftarkan.

Menghadirkan Prinsip HAM

Model sukarela menjawab satu dari tiga kekhawatiran yang ada dalam RUU yang hendak disahkan dalam beberapa hari kedepan. Adapun terhadap kekhawatiran kedua: mengenai klausul ketika mobilisasi, tentu tidak ada opsi lain bahwa semua Komcad memang musti ikut dalam mobilisasi. Ini merupakan praktik di semua negara.

Mobilisasi dalam RUU ini pun telah diatur sedemikian rupa, bahwa hanya diperkenan dengan adanya persetujuan DPR RI ketika emergensi atau status darurat militer. Kalau tidak mau dimobilisasi pada saat Pemerintah dan DPR RI telah bersepakat memberikan ruang mobilisasi dan demobilisasi atas alasan status darurat militer. Tentu dalam situasi tersebut, justru problematik secara prinsip kewarganegaraan yang punya kewajiban bela negara dan kesiap-siagaan sebagai Komcad apabila tidak berpartisipasi saat diharuskan mobilisasi. Ketika Komcad sudah sukarela, maka prinsip ini sudah menghormati HAM. Pembatasan lain yang juga memenuhi unsur HAM adalah Komcad sendiri memiliki Batasan waktu, jadi tidak berlangsung terus menerus.    

Perihal kekhawatiran ketiga: pembiayaan, melalui proses pembahasan akhirnya hadir kesepakatan untuk mendukung bahwa selain APBN, ada APBD dan sumber lain akan diikat dan diatur melalui mekanisme APBN. Kementerian Keuangan telah sepakat untuk membuat Peraturan Menteri yang tujuannya mengatur mekanisme sumber pembiayaan lain masuk ke dalam mekanisme APBN. Pembiayaan sumber lain tersebut jelas tidak akan  berjalan sebelum mekanisme dalam Permen itu dikeluarkan dan disahkan. Tujuannya membuka peluang warga negara untuk berpartisipasi, temasuk pihak swasta dalam menyukseskan pendidikan bela negara tanpa musti membebankan APBN. Ini adalah ruang partisipasi publik yang sangat positif dalam agenda bela negara sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945.

ProporsionalitasdalamMobilisasi

Di luar tiga kekhawatiran yang telah terjawab, bahkan terdapat sejumlah poin perbaikan dari Draft awal Pemerintah yang membuat muatannya jauh lebih maju dan progresif dalam ukuran demokrasi, HAM, dan kebebasan sipil. Satu diantara aspek HAM yang tidak terlalu digaungkan, namun masuk sebagai muatan baru yang disahkan dalam proses pembahasan RUU ini berhasilnya RUU ini memasukkan asas proporsionalitas. Asas ini untuk memastikan bahwa tindakan negara dalam melakukan mobilisasi harus proporsional. Asas proporsionalitas ini juga yang kerap digunakan oleh pengadilan HAM, seperti European Court of Human Rights di hampir setiap kasus yang diperiksanya. Makanya dikenal adanya Proportionality Check atau Proportionality Test.

Progresivitas juga terlihat dalam detailing penegasan bahwa Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara dipersiapkan secara dini untuk menghadapi Ancaman. Kemudian, persepsi Ancaman tidak hanya Ancaman militer dan Ancaman non militer, namun juga Ancaman hibrida. Definisi Ancaman juga secara definitif disebutkan meliputi segala wujud agresi, terorisme, komunisme, separatisme, pemberontakan bersenjata, bencan aalam, kerusakan lingkungan, pelanggaran wilayah perbatasan, perompakan dan pencurian sumber daya alam, wabah penyakit, peredaran dan penyalahgunaan narkoba, serangan siber, serangan nuklir, serangan biologi, serangan kimia, dan ragam wujud ancaman yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan segenap bangsa.

Melihat progresivitas perbaikan dari produk regulasi ini layak kita mengapresiasi Komisi I DPR-RI yang sangat aspiratif terhadap kritik kelompok masyarakat sipil dan gigih memperjuangkan perhatian terhadap hadirnya aspek kepatutan demokrasi, HAM, dan kebebasan sipil. Di sisi lain, tentunya apresiasi terhadap Pemerintah dalam hal ini diwakili Kementerian Pertahanan, karena dalam proses bersama telah secara akomodatif dan dialogis mengakomodir ragam perbaikan. Semoga Indonesia dan warganya kian berjaya dengan hadirnya regulasi ini.

*Penulis adalah Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) dan Dewan Penasihat Media SandiMerahPutih.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.