Hasrat Cinta Rsi Drona Meraih Tahta Aswatama
Oleh: Ketut Lanang Perbawa*
Aswatama merupakan tokoh dalam Wiracarita Mahabharata yang juga merupakan mahluk Ciranjiwi atau mahluk abadi, dan konon masih hidup hingga sekarang. Ia adalah seorang Brahmana Ksatria Putra Drona dengan Kreti.
Mahabharata menceritakan sebagai putra kesayangan Rsi Drona. Aswatama dikutuk untuk hidup selamanya tanpa memiliki rasa cinta, setelah melakukan pembunuhan terhadap lima putra Pandawa dan mencoba menggugurkan janin yang dikandung oleh Utari, istri Abimanyu.
Mahabharata mendeskripsikan Astawama sebagai lelaki bertubuh tinggi, kulit gelap, bermata hitam, dan dilekatkan sebuah permata di dahinya, sebagaimana, Bhisma, Drona, Kerpa, Jarna, dan Arjuna, yang merupakan seorang ahli ilmu perang dan dipandang sebagai ksatria ulung pada masanya.
Aswatama juga menyandang gelar Maharathi dan merupakan salah satu jenderal atau panglima andalan Kurawa dalam perang Kuruksetra. Setelah perang Kuruksetra berakhir, hanya ia bersama Kertawarman dan Kerpa yang menjadi menyintas dari pihak Kurawa.
Oleh karena dipenuhi dendam atas kematian ayahnya, ia menyerbu kemah Pandawa saat tengah malam dan melakukan pembantaian secara membabi buta.
Setelah permatanya dilepaskan, bekas lekatannya meninggalkan luka di dahinya, yang mengeluarkan darah berbau tidak sedap, yang tidak akan pernah berhenti mengalir sampai jaman Kaliyuga.
Sehebat apapun taktis dan strategi Rsi Drona untuk meraih tahta Aswatama, pada akhirnya, hanya Khrisna yang menentukan awal dan akhir dari perjalanan sang waktu dari sebuah cerita, kisah perang Kuruksetra yang dikenal dengan ‘Mahabharata’.
Senjata yang maha dahsyat Brahmastra walaupun berada di tangan orang yang tepat, tetap akan bermasalah, apalagi Aswatama tidak bisa mengendalikannya. Senjata pamungkas tersebut harus dipegang, dipakai, dan dikendalikan oleh orang yang tepat secara fisik dan mental.
Semoga cerita dalam perang Kuruksetra ‘Mahabharata’, ambisi hasrat cinta Rsi Drona pada putra tersayangnya, Aswatama, menjadikan kedua-duanya mati dan meninggalkan nama yang tidak bagus dalam setiap perjalanan sang waktu.
*Penulis adalah Penggiat Seni Budaya