Bali, Pionir Kearifan Subak yang Menginspirasi Keseimbangan Manusia dan Alam
Oleh: Brigjen Pol. Dr. R Nurhadi Yuwono, S.I.K, M.Si, CHRMP*
Sistem subak di Pulau Bali tidak hanya sekadar bentuk irigasi tradisional, tetapi juga merupakan warisan budaya yang menjembatani manusia dengan alam dan spiritualitas. Subak adalah contoh kongkrit bagaimana nilai-nilai seperti keadilan, harmoni, dan keterbukaan bisa diaplikasikan dalam sistem sosio-teknis masyarakat.
Filosofi Tri Hita Karana menjadi pondasi penting bagi Subak. Dengan makna “Tiga Penyebab Kesejahteraan,” Tri Hita Karana mengajarkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Ini tercermin dalam Subak, yang memadukan prinsip-prinsip itu dalam pengelolaan air irigasi. Keberadaan Subak menjadi contoh betapa pentingnya menjaga hubungan yang seimbang dengan alam untuk mencapai kesejahteraan.
Sistem Subak mampu bertahan selama berabad-abad karena prinsip-prinsipnya mengakar dalam budaya dan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Pembagian air yang adil dan partisipasi bersama dalam pengambilan keputusan merupakan bukti nyata bagaimana kerjasama dan kebersamaan dapat menjaga kelangsungan Subak.
Namun, tantangan modern seperti perubahan gaya hidup, urbanisasi, dan alih fungsi lahan mengancam keberlanjutan Subak. Lahan pertanian yang semakin berkurang akibat pariwisata bisa mengakibatkan kepunahan Subak, yang memiliki dampak besar pada keberlangsungan masyarakat petani.
Masyarakat Bali perlu memandang Subak sebagai harta yang tak ternilai dan kunci identitas budaya mereka. Upaya pelestarian, seperti pendirian Museum Subak, menjadi langkah penting untuk memperkenalkan dan memastikan generasi mendatang memahami dan menghargai nilai-nilai yang diwariskan oleh sistem ini.
Subak bukan hanya tentang teknis pertanian, tetapi juga hubungan religius dan spiritual yang memperkuat ikatan manusia dengan alam. Penanaman tanaman padi menjadi ritual ibadah, mengingatkan manusia tentang tanggung jawab untuk menjaga alam semesta.
Keberhasilan Subak dalam menjaga keberlanjutan selama ribuan tahun telah diakui oleh UNESCO. Namun, perjuangan untuk melestarikan Subak belum selesai. Dalam menghadapi tantangan zaman, langkah-langkah konkret seperti pengelolaan lahan yang bijaksana dan edukasi kepada masyarakat mengenai nilai-nilai Subak menjadi penting.
Kita harus memastikan bahwa Subak tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi tetap hidup dan relevan dalam kehidupan masyarakat Bali. Keberlanjutan Subak adalah cermin kearifan lokal yang bisa menjadi sumber inspirasi global dalam membangun hubungan yang seimbang antara manusia, alam, dan spiritualitas.
*Penulis adalah Kepala BNN Provinsi Bali