Wisata Gunung Api Purba, Memandang Hamparan Yogya
Yogyakarta |
Sampai akhir Maret nanti diperkirakan masih musim penghujan. Beruntung Minggu pagi yang lalu Yogyakarta langitnya terang.
Dengan mobil sedan warna biru kami meluncur lewat jalan lingkar selatan, ada lampu merah belok kanan menyuduri jalan ke arah Wonosari.
Setelah kota kecil Piyungan jalan makin menanjak. Melewati batas Kabupaten Bantul, tampak sederetan huruf setinggi manusia berkarakter Times Bold.
Rangkaian huruf-huruf tiga dimensi berwarna merah itu berbunyi Wisata Gunung Kidul.
Jalan kemudian menikung dan naik ke kiri. Sepintas di sebelah kanan di bawah sana hamparan kecamatan Piyungan dan ujung tenggara kota Yogyakarta tampak di kejauhan.
Hawa mulai segar dengan kiri kanan jalan terdapat pohon pohon jati, eucaliptus, angsana dan pohon nyiur bercampur kebun kakao diselingi kebun singkong.
Diiringi lagu Pasrah berirama jazz yang dilantunkan Ermy Kulit jalan meliuk liuk tak kami rasakan. Tahu tahu di depan terlihat puncak bukit dengan bongkahan bongkahan batu indah sekali. Rasanya sudah pernah kami lihat pemandangan seperti itu.
Namun jelas ini bukan de javu. Baru ingat. Ya, mirip bukit di Pakong, Kabupaten Pamekasan, Madura.
Kami pernah berwisata ke sana 6 tahun silam bersama rombongan Alumni 65 SMA Negeri 3 Malang atau Paguanama. Puncak bongkahan batu itu terlihat di balik kebun tembakau yang luas.
Tak berapa lama sampailah di kaki Gunung Api Purba, Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, DIY.
Di sini ada fasilitas pendopo, toilet, dan gazebo atau gardu pandang. Menurut warga setempat wisata Gunung Api Purba ini baru dikenal tahun 2008. Sekitar tahun 2012/2013 mulai booming dengan dibangunnya Embung Nglanggeran sekitar 1,5 km dari pos Gunung Api Purba.
Mitos Ngglanggeran
Konon pegunungan Nglanggeran yang satu gugusan dengan Gunung Sewu (Seribu) ini merupakan tempat menghukum warga desa yang bertindak ceroboh sehingga merusak wayang kulit mikik dalang sakti yang sedang membuka pergelaran di situ ratusan tahun silam.
Dalang murka dan mengutuk warga desa itu menjadi sosok wayang yang dibuang ke Bukit Nglanggeran tersebut.
Karenanya gugusan bukit ini ada yang dinamakan Gunung Kelir, Gunung Blencong dan Gunung Bongos yang kesemuanya itu nama peralatan pedalangan wayang kulit.
Telaga Indah
Mengenai embung atau telaga di Bukit Nglanggeran itu, luasnya sekitar 5.000 m2. Airnya jernih dan tepiannya diberi pagar yang sebagian diberi penerangan.
Ketinggiannya sekitar 500 meter di atas permukaan air laut. Dari tepi Embung ini kita melihat bukit batu berlapis lapis muncul dari kehijauan hutan. Namun melihat ke bawah hamparan hijau membuat mata betah memandanginya.
Di tepi bawah embung ini dikhususkan bagi kebun buah buahan seluas 20 hektare yang mendapat pengairan dari embung tersrbut. Jenis pohon buahnya antara lain durian, kelengkeng, sirsak, srikaya dan rambutan.
Namun baru kelengkeng yang sudah berbuah meskipun pohonnya masih setinggi orang dewasa. Baru berumur 4 atau 5 tahun. Kebun buah ini diresmikan Sultan Hamengku Buwono X pada 19 Februari 2013.
“Saya kebetulan melihat sendiri proses pengisian air embung ini akhir tahun 2012. Diambil dari sumber yang ada di atas sana,” ujar Dwi Busara, warga asal Yogyakarta yang kini mukim di Bekasi.
Jumilah (44) warga RT 015/13 Nglanggeran yang membuka warung makan di dekat loket wisata Gunung Api Purba mengakui, tempat wisata ini tadinya kurang dikenal. Tetapi sejak dibangun pemerintah daerah berbagai fasilitas tahun.2012, mulailah ramai dikunjungi wisatawan. Baik di Gunung Api Purba maupun Embung Nglanggeran tersedia tempat parkir mobil yang memadai.
Desa Nglanggeran Kecamatan.Patuk kini dikenal dengan tempat Agro Wisata, Geo Wisata dan Eko Wisata.
Di puncak Gunung Nglanggetan sering para pecinta alam berkemah di sekitarnya dengan bebagai kegiatan, antara lain berolahraga panjat tebing. Di depan pos wisata Gunung Api Purba terlihat sawah menghijau dengan irigasi yang gemericik airnya.
Pulang dadi Nglanggeran kami mengambil rute kiri hingga tikungan Petruk. DI Sepanjang jalan menurun dan berliku banyak kami jumpai di pinggir jalan iti orang berjualan walang (belalang) goreng.
Menurut Herry Kuswanto, warga Desa Siyono, Patuk, di Gunung Kidul walang goreng merupakan lauk khusus.
Di sini juga tersedia wisata kuliner khas yaitu makanan thiwul dan gatot yang dibuat dari gaplek atau singkong kering. Ini dapat dijumpai di Kampung Emas masih Kecamatan Patuk.
Sedangkan minuman yang banyak dijual juga produk Gunung Kidul yaitu bubuk coklat dari biji buah kakao.
Ada produk yang diberi label bubuk coklat Purbarasa sesuai dengan lokasinya Gunung Api Purba.
Sesampai Piyungan mobil yang kami tumpangi berbelok ke kanan. arah Candi Boko di daerah Prambanan. Sayang langit yang tadinya cerah tiba tiba kelabu. Hujan turun tak terelakkan lagi. Kami mencoba kuliner setempat yaitu Soto Gerabah di dekat situs Candi Boko sambil menunggu hujan reda.
Jadwal bis Yogyakarta-Jakarta lewat Semarang berangkat dari terminal Giwangan pukul 14.00. Hujan masih rintik rintik , waktu sudah kritis. Rencana ke Candi Boko batal. Kamipun memilih mempersiapkan diri kembali ke Jakarta.
Mobil meluncur ke arah Taman Siswa. Kebetulan lagu yang diperdengarkan oleh musik di dashboard mobil itu berjudul “Going Home”.
Lagu ini dibawakan secara instrumentalia dengan dominasi suara lengkingan saxophone Kenny G yang meliuk liuk menyentuh relung hati.
Berita: Pri | Foto: Istimewa/Pri