Kuatnya Doktrin Kekuasaan dalam Negara Hukum
Oleh: DR. Tengku Murphi Nushmir, SH.,MH*
Banyak pemikir filsafat dan kekuasaan akan teorinya tentang kekuasaan dan negara hukum atau supermasi of law dalam berbagai teori yang ditulis diberbagai buku, salah satunya Albert V Dincey dalam bukunya “Introduction The Study Of The Law Of Contitution” telah melahirkan negara hukum rule of law.
Misalnya Ossip K Flechtein yang memandang bahwa otoritas penguasa adalah kekuasaan dan wewenang yang sah diberikan kepadanya untuk membuat peraturan yang harus ditaati atau diikuti pihak lain sesuai yang dinginkan penguasa.
Pendapat lain ada yang mengidentikan negara sebagai alat dari golongan yang kuat untuk menindas golongan yang lemah, dimana sejarah mencatat teori negara kuat itu seperti pernah terjadi di era Jenghis Khan, Napoleon Bonaparte, dan Musolini.
Penindasan oleh penguasa seperti yang pernah terjadi tidak mustahil dapat terjadi lagi di masa kini, yaitu disaat potret kekuasaan sistem pemerintahan komunis yang menganut sistem monolitik, yang sampai saat ini masih ada negara tertentu menggunakan sistem diktaktor mayoritas. Bahkan kekuasaan negara tertentu seperti kerajaan ternyata masih ada yang menerapkan sistem kekuasaan komunis. Lalu sistem apa yang ideal yang diterapkan pada kekuasaan negara seharusnya?
Selain Albert V Dincey, kita juga kenal beberapa ahli pemikir teori rule of law seperti Stal, Robert A Dahl, Charles F Anrain, Benedicit Anderson, dan lainnya.
Michael Foul Caul seorang filsuf pelopor strukturlisme pernah mengatakan bahwa kekuasaan menyatukan suatu dimensi dari relasi. Kemudian Krabbe tentang teori kedaulatan hukum (rechts sauvefeteit) maupun Albert V Dincey, dimana menurut keduanya dalam kekuasaan pentingya hukum sebagai panglima yang dapat membatasi kesewenangwenangan. Dimana dalam supermasi hukum terdapat 3 unsur yang harus dihormati yaitu, pertama Supermacy Of Law (Arbitrary Power), kedua Equality Before The Law (membatasi authority), dan ketiga Constitution Based on Human Rights.
Bahwa penguasa lebih berpotensi untuk menggunakan kekuasaannya apa yang diinginkannya karena penguasa adalah kekuasaan yang lengkap, ada uang, ada senjata, serta ada kewenangan yg tidak dimiliki
Organisasi lain di dunia (Hutington), bahwa karena kedekatannya hukum ataupun undang-undang dijadikan alat untuk melegitimasi keinginan. Namun pada teori yang menyebutkan bahwa otoritas penguasa dan kewenangannya yang diberikan kepadanya sebagai legitimasi yang sah diberikan kepadanya. Hal itu dapat dibenarkan secara implisit atau parsial sebagai bentuk kebijakan tetapi tidak di luar koridor undang-undang (UU) yang telah membatasinya.
Oleh sebab itu peran dan fungsi pengawasan di dalam distribution of power dalam Teori Trias Politika yang menyebutkan konsep ide legislatif adalah untuk membatasi dan mengontrol kekuasaan eksekutif dalam menjalankan dan melaksanakan UU. Namun ketika terjadi legislatif melakukan politik kawin sirih dengan eksekutif yang dapat membawa dampak buruk pada fungsi legislatip, berdampak disfungsi pengawasan penyelenggaran UU, dan disfungsi legislasi pada pembentukan UU, maka otoritas yang ada dalam kekuasaan dalam menggunakan otoritas kekuasaannya tidak lagi terlegitimasi dan dibenarkan. Apabila abai terhadap persoalan supermasi hukum, penegakkan hukum, kesetaraan didepan hukum, dan perlindungan HAM secara simultan.
untuk itu pelaksanaan penyelenggaraan hukum yang membenarkan secara legitimate terhadap penggunaan refresif didalam teori kekuasaan didalam negara hukum dan supermacy of law, sebagai wujud menabrak marka kedaulatan hukum dan supermacy of law didalam negara hukum.
*Penulis adalah Direktur Murphi Care Institute (MCI)