July 27, 2024

Perspektif Sosial Legal dalam Perkara Pembunuhan Berencana Brigadir J

Oleh Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H., M.S.*

Di tahun 2022-2023, perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) merupakan perkara yang sangat mencuri perhatian dimana tidak saja menarik perhatian publik tetapi menguras tenaga, pikiran, waktu dan emosi publik, terutama bagi kaum perempuan khususnya ibu-ibu, sehingga para terdakwa dilabeli sebagai tokoh antagonis (orang jahat dalam dunia sinetron) dan protagonis bahkan terselip berbagai adegan lucu pada saat pemeriksaan saksi Susi (S) dan Terdakwa Kuat Ma’ruf (KM).

Ketika perkara ini sempat direlaksasi pemberitaannya, masyarakat khususnya ibu-ibu melayangkan protes, begitupun juga media yang merasa dirugikan akibat kehilangan jumlah penonton (viewers) selama seminggu. Perkara ini sangat menarik secara sosiologi dan telah mengalami pergeseran nilai menjadi kasus sangat luar biasa karena terjadi pada salah satu petinggi aparat penegak hukum, terjadi di rumah dinas penegak hukum, serta pelaku dan korbannya adalah aparat penegak hukum.

Selama perkara ini berjalan, sangat menguras emosi publik dan akhirnya memunculkan Terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu (RE) sebagai pahlawan karena dianggap berani berkata jujur dan mengungkap kebenaran dari peristiwa yang terjadi di Magelang, Saguling, dan Rumah Dinas Duren Tiga. Tetapi, keberanian Terdakwa RE baru terungkap setelah hampir satu bulan mengikuti skenario Terdakwa Ferdy Sambo (FS). Padahal, telah disampaikan bahwa pembuktian dalam perkara ini sangat sederhana karena korbannya ditemukan, tempat kejadian perkara (TKP) jelas, dan pelaku merupakan salah satu dari para Terdakwa. Pelik dan rumitnya perkara ini membuat kejadian seperti sinetron dengan episode yang tak berkesudahan.

Pada awal perkara sudah masuk di persidangan, menjadikan persidangan sebagai acara yang paling banyak ditonton oleh masyarakat, bahkan salah satu stasiun televisi mengklaim penonton kurang lebih sebanyak 50 juta orang. Hal ini sangat luar biasa karena belum ada sepanjang sejarah pertelevisian sebab hampir seluruh platform media memberitakan tentang persidangan para Terdakwa dalam pembunuhan terhadap Brigadir J. Ketika perkara ini masuk dalam persidangan, masyarakat menaruh harapan besar terhadap Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar motif pembunuhan terhadap Brigadir J terungkap dan para pelaku dihukum dengan hukuman seberat-beratnya. Dalam proses pemeriksaan saksi dan para terdakwa, masyarakat menilai bahwa Terdakwa RE adalah orang yang paling berjasa mengungkap kebenaran, sedangkan Terdakwa lainnya dianggap lebih banyak berbohong dengan berbagai pembelaan masing-masing dan dianggap sebagai tokoh antagonis.

Tibalah pada persidangan dengan agenda pembacaan surat tuntutan oleh JPU, pada Senin 16 Januari 2023, Terdakwa KM dan Terdakwa Ricky Rizal Wibowo (RR) dituntut 8 tahun penjara. Selanjutnya pada Selasa 17 Januari 2023, Terdakwa FS dituntut hukuman penjara seumur hidup. Sementara itu, pada Rabu 18 Januari 2023, Terdakwa Putri Candrawathi (PC) dituntut 8 tahun penjara dan Terdakwa RE dituntut 12 tahun penjara. Tuntutan terhadap para terdakwa ini menimbulkan banyak opini baik mendukung bahwa keputusan (tuntutan) sudah tepat maupun kontra karena menilai tuntutan tidak mengandung rasa keadilan. Oleh karenanya, pada Kamis 17 Januari 2023, petinggi Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan konferensi pers guna memberikan penjelasan dan pemahaman atas surat tuntutan yang diajukan kepada para terdakwa tersebut.

Kepada para Terdakwa, pasal yang dibuktikan adalah Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dimana apabila diuraikan secara hukum pidana, menerapkan delik penyertaan bagi para Terdakwa menjadi 2 klaster yakni (1) klaster yang menyebabkan secara langsung menghilangkan nyawa orang lain (yaitu klaster yang menyuruh dan melakukan tindak pidana disebut sebagai pelaku (pleger) atau sering disebut intelectual dader dan dader) yakni Terdakwa FS dan Terdakwa RE. Selanjutnya, (2) klaster yang secara tidak langsung dianggap yang turut serta melakukan tindak pidana atau sering disebut medepleger (para pelaku tidak secara langsung mengakibatkan terjadinya penghilangan nyawaseseorang) seperti Terdakwa KM, Terdakwa RR, dan Terdakwa PC.

Kedudukan peran masing-masing para terdakwa inilah yang menentukan tinggi rendahnya tuntutan yang diberikan. Maka, tidak bisa dengan alasan kooperatif atau kerja sama disamakan perannya atau pemberian hukumannya karena tetap peran menjadi hal penting untuk dipertimbangkan tanpa mengurangi penghargaan terhadap kejujuran para terdakwa di depan persidangan dalam mengungkap fakta hukum.

Adapun hal yang menjadi runyam adalah ketika Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merekomendasikan Terdakwa RE sebagai justice collaborator (JC) dan diberikan hukuman ringan oleh JPU. Maka secara tegas,tuntutan pidana yang diberikan oleh JPU kepada para terdakwa adalah sangat independen, objektif, dan tidak bisa diintervensi oleh kepentingan apapun, serta melihat berbagai aspek yang terungkap di persidangan yakni mens rea dari masing-masing pelaku tindak pidana. Hal yang terungkap dalam fakta persidangan yakni sebelumnya Terdakwa FS memerintahkan Terdakwa RR untuk mengeksekusi Brigadir J, namun Terdakwa RR menolak dengan alasan tidak berani. Akhirnya Terdakwa FS memerintahkan Terdakwa RE untuk menghilangkan nyawa Brigadir J, dan Terdakwa RE menyanggupi perintah tersebut sehingga sempurnalah pembunuhan berencana itu terjadi.

Secara limitatif, pemberian JC dalam tindak pidana pembunuhan berencana tidak diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK) jo. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 yang secara tegas mengatur tindak pidana tertentu antara lain tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir.

Oleh karenanya, apabila ditelaah maka pembunuhan berencana tidak termasuk dalam tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, terlebih lagi Terdakwa FS dan Terdakwa RE adalah pelaku sebagaimana dalam klaster 1 yang tidak bisa dijadikan JC. Namun demikian, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) secara tegas menyampaikan khusus tuntutan terhadap Terdakwa RE yang memberikan kesaksian jujur dan kooperatif, telah diakomodir dalam surat tuntutan sehingga menjadikan grade tuntutan yang begitu jauh dengan Terdakwa FS yang kedudukan sama yakni sebagai pelaku utama.

Mengenai tuntutan JPU dalam persidangan disebut dominus litis Jaksa dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Soal putusan, nantinya menjadi kewenangan Hakim dengan mempertimbangkan fakta persidangan, alat bukti, dan berdasar keyakinan Hakim terkait apakah putusannya sesuai dengan tuntutan JPU atau Hakim memiliki pertimbangan sendiri. Hal ini karena orientasi dalam penyelesaian perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil (materieele waarheid).

Untuk itu, akhir (ending) dari perkara ini adalah putusan Majelis Hakim yakni apakah Terdakwa RE dipertimbangkan atau ditetapkan sebagai JC sehingga dapat menerima hukuman yang lebih ringan dari tuntutan JPU. Perkara ini masih berjalan dan bergulir di persidangan, dan mungkin perkara tersebut sampai pada tingkat Mahkamah Agung (MA) sehingga masyarakat diharapkan tidak menimbulkan polemik berkepanjangan serta sabar menunggu akhir dari perkara yang seperti episode sinetron yang tidak berkesudahan.

*Penulis adalah Guru Besar Fakultas Hukum, Ahli Sosiologi dan Filsafat Hukum Universitas Brawijaya-Malang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.