Burisrowo, dari Studio Musik Kecil ke Panggung Metal Bawah Tanah Indonesia
Depok – Di tengah panasnya jalanan kota Depok pada pertengahan 90 an, empat anak muda berpakaian serba hitam kerap terlihat menenteng gitar dan stik drum ke sebuah studio kecil.
Mereka adalah Fay Sonix, Faried Feardaouz, Heri Wanted, dan Edho, empat remaja yang kala itu tak sekadar meniru gaya rockstar, tapi sungguh-sungguh menghidupkan napas musik metal dalam darah mereka.
Tahun 1995, mereka menamai diri Ulat Bulu, sebuah band cover Metallica yang dengan penuh tenaga membawakan lagu-lagu seperti The Four Horsemen, Seek and Destroy, Creeping Death, dan For Whom the Bell Tolls.
Dari studio musik kecil itulah dentuman riff keras dan double pedal cepat mulai mengguncang telinga-telinga muda di kota Depok Timur, dan sekitaran Jabodetabek.
Transformasi Menjadi Burisrowo
Setahun kemudian, datanglah seorang gitaris baru, Adi “Themit” Restiadi, membawa arah dan visi baru. Ia menyarankan nama yang aneh namun berkesan, yakni Burisrowo.
Nama Burisrowo sendiri diambil dari salah satu tokoh Kurawa dalam kisah pewayangan, simbol dari kekuatan, ambisi, dan sisi gelap manusia. Sejak saat itu, aliran musik mereka berubah total, dari Thrash menuju Brutal Death Metal.
Burisrowo tampil untuk pertama kalinya pada 1996, dan langsung mencuri perhatian. Musik mereka keras, mentah, dan jujur tanpa kompromi.
Namun perjalanan tidak selalu mulus. Bongkar pasang personel pun terjadi, Adi Themit hengkang, digantikan oleh Emil Nirwan.
Sementara Jeff yang sempat mengisi posisi bass akhirnya memilih pindah ke Troops of Brutality (TOB), dan posisi itu kembali dipercayakan kepada Edho.

Menantang Arus dan Mengguncang Jakarta
Burisrowo tidak hanya sekadar memainkan lagu, tapi menantang arus musik saat itu. Mereka berani meng-cover band-band yang dianggap “berat” dari Inggris seperti Benediction, Edge of Sanity, Masacre dari Kolombia, hingga Messiah dari Swiss. Langkah itu membuat mereka cepat dikenal di kalangan metalheads Jabodetabek.
Di akhir 90 an, nama Burisrowo kerap muncul di line up acara underground ternama, dari Poster Café hingga panggung musik Taman Impian Jaya Ancol. Setiap penampilan mereka seolah menjadi ritual. Teriakan, headbang, dan sorak-sorai menjadi bahasa perlawanan terhadap arus musik pop yang mendominasi.
Namun di puncak semangat itu, tahun 1998, Burisrowo tiba-tiba redup. Tak ada album, tak ada rekaman, hanya kenangan di kepala para penggemar. Mereka bubar tanpa sempat meninggalkan jejak fisik, namun justru di situlah mitos Burisrowo lahir.
Sisa Bara yang Tak Pernah Padam
Waktu berlalu, hingga di tahun 2010, muncul kabar bahwa para personel lamanya ingin menghidupkan kembali band legendaris ini. Sayangnya, rencana itu tertunda.
Fay Sonix dan Faried kala itu sibuk dengan band baru mereka, Demoniac, yang bahkan sempat merilis single “Dead Welfare State” dan menggarap ulang lagu “Odious Debt” milik Planeterror.
Sedangkan Jeff dengan band metal hardcore legendaris yang dipeloporinya, Papper Gangster, masih terus konsisten tampil event to event hingga saat ini dan kerap kali meluncurkan hasil karya album.
Meski begitu, api kecil itu belum padam. Di komunitas metal Depok, nama Burisrowo masih disebut dengan nada hormat. Banyak yang berharap Burisrowo on the second life akan benar-benar terwujud dengan energi baru, aransemen modern, dan karya rekaman yang layak jadi warisan metal Indonesia.
Jejak Para Personel
Fay Sonix, seorang gitaris shredder, dikenal dengan permainan cepat dan teknis tinggi. Ia pernah memperkuat Demoniac, Blood Sheed, For Infidel, Rudal Anti Tank (RAT), hingga Planeterror.
Gear andalannya antara lain: Ibanez, Jackson, Gibson Les Paul, hingga Mesa Boogie, BOSS dan Line 6 POD.
Faried Feardaouz, drummer dengan pukulan presisi dan tenaga dahsyat. Di masa sekolah dulu, ia beberapa kali dinobatkan dan berhasil menyabet juara drummer terbaik.
Jeff, sosok multi talenta yang bisa memainkan hampir semua alat musik. Vokalis di Horror, drummer di TOB, bassist di Burisrowo, dan kini gitaris di Papper Gangsters.
Adi “Themit” Restiadi, kini dikenal sebagai seniman biola yang menetap di Yogyakarta, membuktikan bahwa semangat bermusik tak pernah hilang meski genre berganti.
Emil Nirwan, kini menekuni dunia desain aksesori otomotif, sementara Heri “Wanted” beralih menjadi pelatih bela diri dan bidang keamanan profesional. Edho memilih jalur bisnis ekspedisi dan manajemen seni budaya.
Dari Bawah Tanah Menuju Abadi
Burisrowo mungkin tak sempat meninggalkan album atau rekaman, tapi semangatnya abadi dalam cerita para penggemar metal era 90-an.
Mereka adalah simbol idealisme, bahwa musik bukan sekadar popularitas, tapi bentuk kejujuran dan ekspresi diri paling murni.
Dan bila suatu hari mereka benar-benar bangkit kembali, tak diragukan lagi: suara Burisrowo akan kembali mengguncang panggung, seperti tahun-tahun penuh api di 1996. (MZ/Foto: Istimewa)
Discover more from sandimerahputih.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.

