Berbagi Kekayaan Intelektual di La Vallee Village
Oleh: Kolier Haryanto (Pendiri Indonesia Future Institute)
KETIKA kali pertama Fichte menyebut istilah Geistiges Eigentum di tahun 1793, maka sejak saat itu Kekayaan Intelektual, atau Intelectual Property Rights (IPR) mulai dikenal di dunia, dan berubah menjadi rejim kekayaan sebagai hasil rekayasa intelektual. Kekayaan intelektual ini kemudian mendapat perlindungan hukum, dan memberikan sanksi hukuman bagi mereka yang melakukan peniruan atau pembajakan.
Perkembangan lingkup kekayaan intelektual dunia saat ini telah memberikan perlindungan hukum atas hak cipta, paten, desain industri, merek, desain tata letak sirkuit terpadu, dan perlindungan varietas tanaman. Di mana di hampir semua negara menerima (meresepsi) perlindungan hukum atas kekayaan intelektual itu dalam hukum nasionalnya. Meskipun demikian, di negara-negara terbelakang dan berkembang terhadap kekayaan intelektual itu masih banyak dilakukan peniruan, atau bahkan pembajakan untuk memperoleh keuntungan ekonomi.
Dalam konteks ini memang terjadi conditio sine qua non, artinya bahwa adanya perlindungan hukum atas kekayaan intelektual menyebabkan terjadinya peniruan, dan atau pembajakkan. Hal ini karena produk hasil rekayasa intelektual yang mendapat perlindungan hukum secara eksklusif tersebut akan dijual dengan harga jauh lebih mahal. Sehingga competitor (baca: pembajak) yang membajak barang-barang sejenis dengan tanpa membayar royalti kepada pemilik kekayaan intelektual akan mendapat keuntungan ekonomi yang menggiurkan meskipun ia menjual produknya dengan harga yang sangat murah. Adanya keuntungan ekonomi inilah yang membuat ‘pembajak’ akan terus ada.
Para pembajak mungkin tidak perlu berpikir, bahwa untuk menemukan atau menciptakan suatu kekayaan intelektual itu memerlukan waktu, tenaga, pikiran, dan biaya yang tidak sedikit. Bahkan mereka (para inventor) dalam melakukannya hingga berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan sejumlah tenaga ahli dan investasi biaya yang sangat besar melalui suatu proses research and development. Namun bagi para pembajak yang terpenting adalah bagaimana dapat memproduksi barang-barang yang mirip dengan produk aslinya, dan memperoleh keuntungan yang besar.
Di negara terbelakang dan berkembang pembajakan ini, terutama terhadap digital optic dan hasil desainer merek ternama, seperti baju, kaos, tas, dan sepatu sepertinya akan sulit untuk diberantas karena selain mudah untuk ditiru, keuntungan ekonominya cukup menjanjikan. Bahkan dengan keuntungannya itu mereka dapat bekerjasama dengan petugas pada saat dilakukan operasi produk bajakan.
Ini artinya bahwa di negara terbelakang dan berkembang untuk efektifnya penegakan hukum tidak dapat bergantung hanya pada tiga unsur sitem hukum, yakni struktur hukum (structure of law), substansi hukum (substance of law), dan budaya hukum (legal culture) seperti yang disampaikan Lawrence Friedman, tapi diperlukan juga pilihan model of law enforcement, atau model penegakan hukumnya karena secara signifikan akan sangat berpengaruh untuk mengurangi tingkat pelanggaran hukum.
Terkait dengan kekayaan intelektual, model penegakan hukum sebaiknya memang tidak hanya terfokus pada penegakan pasal-pasal peraturan perundang-undangan karena terbukti tidak efektif. Namun, jika produsen diwajibkan untuk memproduksi barang-barangnya dengan tiga jenis kelas produk, yakni untuk kelangan bawah, menengah, dan atas maka akan efektif dalam mencegah munculnya pembajakan karena keuntungan ekonominya telah terkikis. Produk barang-barang ini tentu dengan kualitas bahan, lokasi penjualan, dan atau kemasan yang berbeda. Sehingga produsen dapat membayar royalti, dan negara akan menerima pembayaran pajak dari pemilik kekayaan intelektual, produsen dan konsumen.
Di negara (-negara) tertentu model penegakan hukum seperti itu diawali kerjasama dengan para pembajak guna memproduksi barang-barang murah untuk masyarakat yang kurang beruntung, dan ternyata berhasil memberantas pembajakan kekayaan intelektual. Ini dapat dimaknai juga sebagai tindakan berbagi kekayaan intelektual kepada segenap masyarakat yang memerlukan.
Pemikiran berbagi kekayaan intelektual itu, meskipun tidak persis sama, telah diterapkan di beberapa negara maju. Lahirnya berbagai factory outlet barang-barang premium dari produk-produk terkenal, seperti Gotemba Premium Outlet di Sizuoka, Bisester Village di London, McArthurGlen Designer Outlet di Pandorf, Kildare Village di Dublin, Ingolstadt Village di Munich, Maasmechelen Village di Brussels, La Vallee Village di Paris, dan sejenisnya rasanya memberi ruang bagi masyarakat kebanyakan untuk memiliki barang-barang branded dengan harga yang terjangkau.
Designer outlet ini tidak saja berhasil berbagi kekayaan intelektual kepada masyarakat, tetapi juga menunjukan bahwa pemilik produk merek-merek ternama itu telah mampu mengubah strategi bisnisnya untuk tetap berjaya di era disrupsi. Bahkan area oulet itu juga telah menjadi man made marvels, atau distinasi pariwisata buatan yang memiliki tingkat kunjungan yang menakjubkan. Sebut saja La Vallee Village di Paris. Designer outlet yang buka 10 jam setiap hari ini rata-rata dikunjungi 25.000 orang, atau 9 juta orang wisatawan domestik dan dari berbagai negara setiap tahunnya. Dan dengan 110 outlet shopping, dengan koleksi desainer ternama, seperti Diane Von, Furstenberg, Gerard Darel, Guess, Michael Kors, Kenzo, Paul Smith, Sandro, TOD’s, Zadig & Voltaire, Carven, Eric Bompard, Paul & Joe, Sonia Rykiel, Superdry, UGG, Vicomte A, dan merek-merek terkenal dunia lainnya, mampu meraup penjualan sekitar 45 triliun per tahun, atau melebihi Pendapat Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta, yang hanya sekitar 37 triliun (2017).
Kekayaan intelektual memang merupakan hak eksklusif bagi penemunya dan diberikan perlindungan hukum melalui suatu pendaftaran yang diatur dalam perundang-undangan. Namun yang harus diingat bahwa kekayaan intelektual itu sesungguhnya hanya titipan dari Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa bagi penemunya. Sehingga jika kekayaan intelektual itu dioptimalkan bagi kemaslahatan segenap umat manusia para pemakainya secara berkeadilan, dan tidak eksklusif egois untuk keuntungan semata, maka Tuhan akan melipatgandakan keuntungannya.
Semoga pengalaman terbaik (best practice) negara-negara maju tersebut dapat di-benchmark para pemilik kekayaan intelektual di negeri kita. Namun jika sulit dipahami, maka harus direkonstruksi dalam tata hukum kekayaan intelektual sejalan dengan harapan masyarakat. Sebab, hanya dengan demikian, kita dapat terhindar dari pembajakan, dan masyarakat tidak tertinggal serta dapat menikmati berbagai produk premium sebagai hasil rekayasa sain dan teknologi dengan murah.
Paris, 27 Desember 2017