Kiprah Jaksa Agung Burhanuddin, Tajam ke Atas Humanis ke Bawah
Jakarta |
Selama tiga tahun belakangan hasil survei berbagai lembaga menunjukkan tren positif penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi, menimbulkan kepercayaan masyarakat kepada Kejaksaan Republik Indonesia (RI) semakin meningkat setiap harinya.
Kasus-kasus besar yang berhasil diungkap oleh Kejaksaan RI, antara lain PT Asuransi Jiwasraya, PT ASABRI, PT Garuda Indonesia, impor tekstil, impor besi atau baja, baja paduan dan produk turunannya, serta kasus kelangkaan minyak goreng yang menyentuh hajat hidup orang banyak, yang sebelumnya tidak terpikir oleh sebagian masyarakat bakal berani diungkap.
Kejaksaan RI dibawah kepemimpinan Jaksa Agung RI Burhanuddin menekankan kepada jajarannya dalam penindakan tindak pidana korupsi adalah mementingkan pengembalian kerugian negara.
Disamping juga dalam penyelamatan keuangan negara kuncinya ada pada penelusuran aset-aset para koruptor (asset tracing) sejak dini, sehingga pemulihan aset (recovery asset) menjadi lebih mudah.
”Dimana hasilnya berupa triliunan aset dalam bentuk tanah, kapal, tambang, saham, uang dan emas dapat diselamatkan. Oleh karenanya seluruh jajaran tidak kenal lelah,” ujar Jaksa Agung Burhanuddin, dalam siaran pers yang dirilis Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Ketut Sumedana, Sabtu (21/5).
Setelah setahun menjabat, Jaksa Agung Burhanuddin membuat terobosan yang sangat humanis, dikarenakan beberapa kasus yang seharusnya secara hukum tidak layak untuk dibawa sampai ke persidangan, seperti pencurian kayu bakar, pencurian sandal jepit dan perkara lainnya.
Bahkan ada perkara pelaku melakukan tindak pidana karena keadaan terdesak karena kondisi sosial ekonomi yang menyebabkan pelaku mencuri demi kebutuhan persalinan istri, pengobatan keluarga bahkan demi sang anak agar dapat mengikuti sekolah online di masa pandemi Covid-19.
Hal ini menjadi tolak ukur asas ’dominus litis’ harus diterapkan berdasarkan pasal 139 dan 140 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sehingga dikeluarkan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.
Dalam berbagai kesempatan, Jaksa Agung selalu menyampaikan bahwa ’keadilan itu tidak ada di buku, tapi ada di hati nurani para penegak hukum’ sehingga penanganan perkara harus dilakukan dengan hati dan melihat fakta yang terjadi di masyarakat, serta hukum harus hadir di tengah-tengah masyarakat.
Gagasan-gagasan tersebut terakomodir dalam Pasal 30 C huruf c Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI yaitu ’turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi dan kompensasinya’.
Namun hal yang paling penting dalam penerapan keadilan restoratif (restorative justice) yaitu korban mau memberikan maaf kepada pelaku tindak pidana dan hak-hak korban yang ditimbulkan akibat perbuatan pelaku dapat dipulihkan kembali seperti sediakala.
Terobosan penegakan hukum tidak cukup sampai disini, Jaksa Agung Burhanuddin kembali membuat gebrakan dengan membentuk Rumah Restoratif Justice (Rumah RJ) di setiap Kejaksaan yang diawali dari setiap Kejaksaan Negeri (Kejari) atau Kabupaten minimal 1 Rumah RJ dan selanjutnya setiap Kecamatan dan setiap desa. Adapun maksud dan tujuan Rumah RJ tersebut untuk menciptakan harmonisasi dan kedamaian di tengah masyarakat.
Saat melaunching Rumah RJ tersebut, Jaksa Agung Burhanuddin berpesan rumah ini dijadikan rumah masyarakat yang tidak saja berfungsi untuk kepentingan penyelesaian perdamaian perkara pidana tetapi juga bisa untuk menyelesaikan perkara perdata, waris, perkawinan, bahkan digunakan sebagai tempat musyawarah untuk menyampaikan program masayarakat desa dan sosialisasi.
Jaksa Agung Burhanuddin menyadari peran Jaksa di tengah masyarakat sangat dibutuhkan untuk menghilangkan resistensi atau pembalasan di masyarakat dalam penanganan perkara sehingga kedepannya pengadilan adalah benteng terakhir pencari keadilan ketika kesepakatan dan damai itu sudah tidak bisa lagi ditetapkan dalam setiap perkara, dan hal ini sesuai dengan prinsip ’Ultimum Remidium’.
Restorative Justice merupakan bagian dari instrumen mediasi penal yaitu penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Criminal Justice System, pada hakikatnya diatur secara ketat sebagai lex scripta namun bagaimana pelaksanaan restorative justice yang notabene merupakan perkara yang sudah masuk dalam proses criminal justice system (pro justucia)? Seharusnya beranjak bahwa asas legalitas hukum acara pidana hanyalah bisa disimpangi oleh hak oportunitas Jaksa Agung RI, artinya hanya Jaksa yang seharusnya dapat menutup atau mengeyampingkan perkara pidana melalui instrumen restorative justice.
Proses panjang pelaksanaan restorative justice pada awalnya banyak pihak yang meragukan dimana bagaimana membangun pola pikir (mindset) Jaksa bahwa ini adalah produk unggulan yang berlandaskan dominus litis Penuntut Umum dan tidak dipermainkan oleh petugas Kejaksaan di lapangan yang justru dapat menciderai kepercayaan dan rasa keadilan masyarakat.
Namun, berkat ketegasan Jaksa Agung RI yang akan menindak tegas setiap pelanggaran dan tindakan tercela yang dapat menciderai program Kejaksaan khususnya menyangkut kepentingan orang banyak dan masyarakat, niscaya Jaksa Agung RI akan memberikan hukuman terberat sampai pidana dan pemecatan.
Tidak berhenti disitu, Jaksa Agung Burhanuddin mengeluarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 yang ditujukan kepada Penuntut Umum sehingga memiliki acuan menangani kasus penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi.
Gagasan ini melahirkan ide humanis yaitu pembentukan rumah rehabilitasi di setiap Kabupaten atau Kota di seluruh Indonesia, mengingat kasus yang ditangani Kejaksaan, 80 persen adalah perkara narkotika dan 95 persen adalah mereka yang menjadi korban alias pengguna.
Jaksa Agung RI sangat prihatin jika korban ini disamakan dengan pengedar atau penjahat, maka bukan kesembuhan yang didapat namun akan terjerumus atau bisa terafiliasi dengan pengedar.
Oleh karenanya, pengguna yang juga merupakan korban sangat penting untuk dilakukan arahan rehabilitasi fisik dan psikis (kesehatan) serta rehabilitasi sosial sehingga apabila sudah dinyatakan sembuh, tidak memiliki stigma negatif sebagai pecandu atau pelaku tindak pidana dengan harapan mereka bisa kembali ke masyarakat dengan baik.
Bagaimana teknisnya tentu harus didukung oleh Pemerintah Daerah setempat mengenai operasional dan pembangunan rumah rehabilitas ini, dan karenanya seluruh pihak memiliki tanggung jawab untuk menyehatkan anak bangsa.
Akhirnya pada Rabu 18 Mei 2022 dalam pertemuan ’Promoting Restorative Justice: Strengthening The Rule of Law Through Restorative Justice Approach for Victim and Offenders’ antara jajaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) dengan United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) di Kejaksaan Agung (Kejagung), disampaikan langsung oleh Collie F Brown selaku Country Manager and Liaison to ASEAN mengapresiasi dan menyatakan bahwa penerapan restorative justice di Kejaksaan RI merupakan salah satu yang terbaik di dunia.
Jika dilihat dari kecepatan penanganannya, keleluasaan Penuntut Umum dalam kewenangan yang dimiliki dan kontrol Kejagung dalam pelaksanaan di setiap tingkatan serta lebih dari 1.000 perkara yang telah dihentikan dalam proses penuntutan.
Dalam kesempatan tersebut, Collie F Brown juga menyampaikan bahwa role model Restorative Justice oleh Kejaksaan RI dapat menjadi contoh penegakan hukum modern saat ini dan contoh bagi negara lain untuk menekan atau meminimalisir perkara masuk ke pengadilan.
Merespon penghargaan tersebut, Jaksa Agung RI secara khusus menyampaikan bahwa penghargaan yang diberikan jangan membuat jumawa namun dijadikan sebagai motivasi bagi jajaran Kejaksaan RI untuk berkinerja lebih baik guna mendapatkan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat semakin baik.
Berita: Mh/Gate 13 | Foto: Ist.