OpiniPeristiwa

Tahta Kekuasaan dan Waktu: Sebuah Renungan tentang Ambisi Kejayaan dan Kehidupan

Oleh: Ngurah Sigit*

Di setiap perjalan sejarah manusia, kita menemukan kisah-kisah tentang perebutan tahta, ambisi yang tak terbatas, dan kekuasaan yang mengguncang dunia. Sejak zaman purba hingga era modern, tahta selalu menjadi simbol dari puncak ambisi manusia, tempat di mana kekuasaan terkonsentrasi dan nasib sebuah bangsa ditentukan.

Mereka yang menduduki tahta dianggap sebagai penguasa absolut, pengendali takdir, dan penjaga stabilitas. Namun, dalam segala kemegahan dan kekuatannya, ada satu kekuatan yang selalu lebih besar dan tak terelakkan adalah waktu.

Tahta bukan sekadar kursi bagi seorang pemimpin. Dalam banyak budaya, ia adalah simbol kemegahan dan keabadian, manifestasi dari kekuatan yang mengatasi segala tantangan. Para penguasa, dari firaun Mesir hingga raja-raja di Eropa, memperlakukan tahta sebagai lambang dari otoritas ilahi, mengklaim kekuasaan mereka sebagai mandat dari para dewa atau takdir. Namun, sejarah menunjukkan bahwa tahta sering kali menjadi penyebab dari begitu banyak penderitaan.

Perebutan tahta telah menyalakan api perang, mengobarkan pengkhianatan, dan menimbulkan pertumpahan darah tanpa akhir. Para raja- raja yang begitu berkuasa, yang pernah memegang kendali penuh atas nasib rakyatnya, sering kali terjebak dalam paranoia dan ketakutan akan hilangnya kekuasaan mereka. Bagi mereka, tahta adalah berkah sekaligus kutukan.

Foto: Dok. Pribadi

Kekuasaan, di sisi lain, adalah mesin penggerak sejarah. Dengan kekuasaan, para pemimpin dapat membangun peradaban, geopolitik, menciptakan hukum, dan mengubah jalannya kehidupan manusia. Kekuasaan bisa menjadi kekuatan untuk kebaikan, ketika digunakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat, membawa kedamaian, dan memperluas cakrawala pengetahuan.

Namun, kekuasaan juga bisa menjadi racun yang mematikan, mendorong manusia ke dalam korupsi, keserakahan, dan tirani. Dalam genggaman kekuasaan, banyak pemimpin yang kehilangan arah, tergelincir dari tujuan mulia mereka, dan terjerumus dalam jurang kekejaman.

Satu-satunya hal yang tidak bisa dikendalikan oleh tahta atau kekuasaan adalah waktu. Waktu berjalan tanpa henti, menandai kelahiran dan kejatuhan bangsa-bangsa, mengikis ingatan tentang raja-raja yang dulu dianggap abadi. Tidak peduli seberapa besar kekuasaan yang dimiliki seseorang, waktu akhirnya akan menelan semuanya. Kerajaan yang pernah berdiri kokoh kini hanya tinggal reruntuhan, pengingat bahwa bahkan kekuatan terbesar pun tidak dapat melawan arus waktu.

Namun, dalam perjalanan waktu itu pula terdapat pelajaran berharga. Waktu tidak hanya menghancurkan, tetapi juga memperbarui. Ia memberi kita kesempatan untuk merenung dan belajar dari perjalanan masa lalu, untuk memahami bahwa kekuasaan tidaklah abadi dan bahwa tahta, sebesar apa pun kekuatannya, hanya sementara.

Waktu mengajarkan kita bahwa yang benar-benar penting bukanlah berapa lama kita memegang tahta atau seberapa besar kekuasaan yang kita kumpulkan, tetapi bagaimana kita menggunakannya. Sejarah mengenang mereka yang bijaksana dalam kekuasaannya, yang menggunakan tahta bukan untuk kepentingan diri sendiri, tetapi untuk kebaikan banyak orang.

Di hadapan waktu, semua ambisi manusia tampak kecil dan fana. Namun, justru dalam kefanaan itulah letak kekuatan sejati kita—kemampuan untuk menciptakan dampak yang bertahan melampaui hidup kita sendiri. Tahta dan kekuasaan bisa saja lenyap, tetapi warisan dari tindakan kita, nilai-nilai yang kita pegang, dan dampak positif yang kita tinggalkan, itulah yang akan selalu dikenang dan bertahan.

Waktu mungkin akan mengambil alih segalanya, tetapi ia tidak bisa menghapus makna dari apa yang telah kita lakukan dengan tahta dan kekuasaan yang pernah kita miliki.

Jadi, ketika kita merenungkan makna dari tahta, kekuasaan, dan waktu, kita diingatkan bahwa hidup ini lebih dari sekadar pencarian akan kekuasaan atau kedudukan. Ini adalah tentang bagaimana kita menggunakan kesempatan yang kita miliki untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, tentang meninggalkan warisan yang akan dikenang dengan baik oleh generasi mendatang.

Waktu akan terus berjalan, tetapi jika kita bijak dalam memanfaatkan tahta dan kekuasaan, dampak dari kehidupan kita akan bertahan melampaui sang waktu itu sendiri. Rahayu.

*Penulis adalah Sosiolog, Budayawan dan Pemerhati Media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.