RUU KUHAP Ujian Serius Penguatan Perlindungan HAM dan Jaminan Keadilan Proses Hukum
Oleh Raden Mufasa*
Di tengah dinamika reformasi hukum, satu pertanyaan penting kembali menyeruak: Mampukah RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) benar-benar melindungi hak asasi manusia (HAM) dari kesewenang-wenangan negara?
Pertanyaan ini mengemuka bukan tanpa alasan. Hukum acara pidana adalah ‘jantung’ penegakan hukum. Jika jantungnya lemah atau berdetak tidak teratur, maka aliran keadilan akan tersendat, bahkan bisa mematikan hak-hak warga negara.
Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward O. S. Hiariej, dalam sebuah debat terbuka di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, pada Agustus 2025 mengingatkan bahwa filosofi hukum acara pidana bukanlah sekadar ‘memproses tersangka’, melainkan melindungi manusia dari kesewenang-wenangan.
Masalahnya, KUHAP yang berlaku saat ini masih cenderung menitikberatkan pada kewenangan aparat, bukan pada perlindungan warga. Akibatnya, kasus kriminalisasi, salah tangkap, dan penyalahgunaan wewenang masih menghantui.
RUU KUHAP berupaya memperbaikinya. Salah satu langkah penting adalah memperkuat posisi advokat agar setara dengan polisi dan jaksa. Dengan demikian, warga yang berhadapan dengan hukum akan memiliki ‘perisai’ sejak tahap penyelidikan, bukan hanya saat persidangan.
Dalam rancangan ini, advokat tidak hanya menjadi pendamping formalitas. Mereka berhak mengajukan keberatan, mencatatkan keberatan itu dalam berita acara, dan mengawasi jalannya penyelidikan. Artinya, dari awal proses hukum, ada pihak yang memastikan bahwa kewenangan negara tidak digunakan semena-mena.
Langkah ini penting. Di negara demokratis, hukum tidak boleh menjadi alat penindas. Kewenangan aparat harus diimbangi oleh mekanisme kontrol yang kuat, dan advokat adalah salah satu bentengnya.
Pengungkapan Kebenaran: Syarat Keadilan
Aktivis HAM Haris Azhar menambahkan satu poin penting, yakni pengungkapan kebenaran. Ia mengusulkan agar sejak tahap penyelidikan, harus ada laporan resmi yang menjelaskan apakah perkara dilanjutkan atau dihentikan, serta alasannya apakah karena kurang bukti atau demi restorative justice.
Ini bukan sekadar prosedur administratif. Transparansi seperti ini akan mencegah manipulasi perkara, menghemat anggaran negara, dan memberi kepastian hukum bagi semua pihak.
Eddy Hiariej pun mengakui, tanpa pengungkapan kebenaran, korban bisa kehilangan kepastian hukum, sementara pelaku berpotensi mengulang perbuatan yang sama. Pembatasan pemberian restorative justice bagi pelaku berulang adalah bentuk perlindungan nyata bagi korban.
Yang menarik, RUU KUHAP ini masih terbuka untuk diperdebatkan. Pemerintah dan DPR mengaku siap menerima masukan publik secara transparan, lengkap dengan pencatatan siapa memberi masukan apa, dan alasan diakomodasi atau tidaknya usulan tersebut. Inilah yang disebut meaningful participation partisipasi yang benar-benar punya arti, bukan sekadar formalitas.
RUU KUHAP berada di persimpangan, akan menjadi tonggak perlindungan HAM atau sekadar kosmetik hukum. Harapan publik sederhana, ketika hukum dijalankan, negara tidak lagi hadir sebagai penguasa yang menakutkan, melainkan sebagai pelindung yang adil.
Namun, perlindungan HAM bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Masyarakat sipil, advokat, media, dan akademisi harus mengawasi proses ini. Sebab sejarah telah menunjukkan, tanpa kontrol publik, kekuasaan cenderung mencari jalannya sendiri.
Jika RUU KUHAP benar-benar memegang teguh prinsip due process of law, memperkuat posisi advokat, dan membuka ruang transparansi sejak awal, maka kita bisa optimis HAM akan mendapat benteng yang lebih kokoh dari sebelumnya.
*Penulis adalah Praktisi Hukum dan Penggiat Media.
Discover more from sandimerahputih.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.