Profesor-Profesor
MENYIMAK diskusi para pemilik sumber ilmu dan tokoh terkait terbitnya eska profesor ‘dosen tidak tetap,’ tanpa sadar ikut berselancar terbawa gelombang kegundahan pemikiran.
Gelombang tinggi itu menyatakan bahwa jabatan profesor yang diberikan kepada para ‘dosen tidak tetap’ dipandanng telah menciderai dunia pendidikan tinggi. Bandingannya, bagi mereka yang mengumpulkan sejumlah angka kredit komulatif di perguruan tinggi (PT) sulit mencapai jabatan profesor. Sementara yang dari luar PT (dianggap) lebih mudah dan tidak memiliki kompetensi.
Lalu, apakah aneh atau dilarang seorang profesional, praktisi, peneliti, pengusaha, politisi dan/ atau birokrat tiba-tiba beralih profesi menjadi ‘pengajar’ dan diangkat dalam jabatan profesor.
Seorang peneliti Kartika Lestari memaparkan best practice di negara-negara yang lebih maju (seperti Taiwan, China, Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa) sebuah PT dapat mengangkat seseorang menjadi profesor dari lembaga peneliti, birokasi, organisasi internasional, bahkan dari perusahaan. Semakin baik PT-nya dengan sendirinya akan semakin tinggi standarnya. Senada dengan itu, siapapun dapat melamar menjadi staf pengajar di PT mana saja tanpa batas. Itulah mengapa, sering dijumpai asistant professor, associate professor, atau professor bukanlah alumni dari PT yang bersangkutan, bahkan warga negara asing. Dan itulah yang menjadikan jabatan profesor sebagai jabatan kompetitif di dunia internasional.
Selain itu, sering juga dijumpai seorang asisten profesor di universitas tertentu, setelah beberapa tahun mengajar pindah ke universitas, atau ke negara lain karena mendapat tawaran jabatan associate professor atau professor di tempat baru. Juga bukan hal yang aneh, misalnya di tempat yang baru, seseorang tidak bisa lagi memasang ‘profesor’ di depan namanya.
Hal lain yang mungkin saja terjadi, seperti saat seorang Saibankan (Hakim) di Tokyo District Court pindah ke universitas setelah mendapat tawaran menjadi profesor di suatu PT. Yang bersangkutan adalah ahli hukum perdata, karena ikut menyusun amandemen Civil Code. Tidak ada pertanyaan terhadap sang Hakim, bagaimana bisa menjadi profesor padahal tidak pernah mengajar.
Pada saat seseorang sudah menunjukkan keahliannya di bidang tertentu, apalagi terkait keahlianya itu telah disampaikan dalam berbagai kesempatan dan/ atau ditunjang dengan sejumlah penelitian merupakan nilai positif yang dapat dijadikan pertimbangan untuk diangkat menjadi profesor.
Mengajar itu tidak selalu dipandang berdiri di depan kelas memberikan kuliah, tetapi pengalaman sebagai praktisi dan atau duduk dalam jabatan strategis tertentu sesuai bidang ilmunya bisa dipandang sebagai bentuk lain dari pendidikan dan pengajaran. Meskipun demikian mereka tetap wajib memiliki kemampuan untuk mengajar sesuai bidang ilmunya. Dan ini harus dibuktikan, apakah melalui seleksi di depan para profesor penguji, atau cukup melalui ujian sertifikasi.
Di tanah air, persyaratan untuk menjadi profesor dapat ditempuh melalui dua jalur: (1) Kenaikan jabatan akademik dari status ‘dosen tetap,’ sebagaimana diatur dalam Permen PAN & RB Nomor 46 Tahun 2013, dimana ini dianggap wajar karena merupakan jenjang jabatan tertinggi para dosen. (2) Kenaikan jabatan akademik dengan status ‘dosen tidak tetap’ yang diatur dengan Permendikbud Nomor 40 Tahun 2012, yang apabila SK-nya terbit selalu menjadi perhatian dan dikritisi para profesor dan akademisi yang masih perlu waktu menunggu untuk menjadi profesor.
Padahal jika dihubungkan antara diktum Menimbang, Pasal 1 dan Pasal 2 Permendikbud Nomor 40 Tahun 2012 dengan best practice di negara-negara yang lebih maju dalam hal pengangkatan jabatan profesor selain ‘dosen tetap’ memiliki bobot yang sama. Bahkan Permendikbud ini lebih tegas, yakni Profesor/Guru Besar hanya diberikan kepada seorang yang bergelar Doktor yang memiliki keahlian dengan prestasi yang luar biasa dalam bidang tertentu.
Permendikbud itu dibuat sangat baik dan tepat, karena kampus memiliki kesempatan memasukan para ahli dan praktisi yang berpengalaman untuk ikut mengembangkan PT dalam melaksanakan Tri Dharma PT, khususnya dalam pendidikan, penelitian dan networking.
Persoalannya adalah, apakah mereka yang mempunyai keahlian dengan prestasi yang luar biasa besar yang telah dikukuhkan dalam jabatan profesor itu selanjutnya memiliki komitmen dan menjadi ujung tombak dalam pengembangan pendidikan, penelitian dan networking di PT-nya sebagaimana best practice di negara-negara yang lebih maju.
Atau hanya sekedar sebagai kebanggaan telah memperoleh tambahan ‘gelar’ profesor yang akan dipasang di depan namanya selamanya, seperti para profesor yang sesungguhnya telah kehilangan statusnya sebagai ‘dosen’ di PT-nya tapi tetap tidak melepas jabatan profesor di depan namanya.
Yang pasti, President Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, M.A., GCB, AC, Minister Prof. Yasonna H. Laoly, S.H., M.Sc., Ph.D., Kapolri Jenderal Polisi Prof. Drs. H. H. M. Tito Karnavian, M.A. Ph.D., dan Ambassador Prof. Dr. Eddy Pratomo, S.H., M.A. adalah the best lecturers.
Kolier Haryanto
Badung, 27/07/2019