Tayangan Live Atta Halilintar di Televisi
Oleh: Soleh Mohamad*
Beberapa pekan lalu publik dikejutkan dengan tayangan langsung (live) stasiun televisi swasta RCTI mengenai pesta lamaran seorang sosok youtuber ternama, Atta Halilintar dengan penyanyi muda, Aurel Hermansyah.
Persoalan ini menimbulkan polemik setidaknya terhadap dua hal. Pertama, adanya kelompok civil society, yang diwakili Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) yang memandang acara itu tidak memiliki kemanfaatan untuk kepentingan publik, masuk ke ruang privat melalui stasiun televisi swasta yang menggunakan frekwensi milik publik.
Kedua, ada fenomena sebagian masyarakat menilai liputan yang demikian semata-mata hiburan, dan menganggapnya sah-sah saja. Keduanya merupakan selebritis memiliki penggemar tersendiri, terlebih Atta Halilintar yang sukses sebagai youtuber, sudah pasti akan menyedot perhatian.
Aspek Kepentingan Publik
Respon KNRP memprotes penayangan tersebut patut menjadi perhatian. Sebagai kumpulan organisasi masyarakat, KNRP memiliki hak untuk menilai bahwa konten penyiaran itu bertentangan dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3), khususnya Pasal 11 yang berbunyi “Lembaga Penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik.”
Selain itu, KNRP menganggap acara itu melanggar Standar Program Siaran (SPS) Pasal 13 Ayat 2 yang menyatakan: “Program siaran tentang permasalahan kehidupan pribadi tidak boleh menjadi materi yang ditampilkan dan/atau disajikan dalam seluruh isi mata acara, kecuali demi kepentingan publik”.
Mencermati kedua pasal tersebut, setidaknya ada dua unsur pokok yang dapat diangkat menjadi perdebatan hukum konten penyiaran, yakni unsur kehidupan pribadi disebut dalam SPS dan unsur kepentingan publik disebut dalam kedua pasal baik di P3 maupun di SPS.
Terhadap definisi “kehidupan pribadi” dijelaskan dalam Pasal 1 Butir 28 SPS “Kehidupan pribadi adalah hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan perkawinan, perceraian, konflik keluarga, konflik pribadi, perselingkuhan, hubungan asmara, keyakinan beragama, dan rahasia pribadi” Dengan ketentuan ini, acara lamaran yang disiarkan live tersebut memenuhi unsur kehidupan pribadi.
Lalu bagaimana dengan kepentingan publik. Apakah unsur kepentingan publik yang disampaikan didalam Pasal 11 P3 sama pemahamannya dengan Pasal 13 Ayat (2) SPS. Penulis belum menemukan makna definitif kepentingan publik yang dimaksud dalam Pasal 11 P3. Bisa saja pemahamannya dikaitkan dengan nilai sebuah frekwensi yang merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas, sehingga penggunaannya secara ketat harus semata-mata untuk kepentingan publik, yakni memperhatikan kemanfaatan bagi masyarakat. Jika pemahamannya ini, maka bisa ditafsirkan acara live lamaran menjadi perdebatan perihal kemanfaatannya.
Namun, apabila maksud kepentingan publik ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Ayat (3) Pasal 13 SPS, yakni yang terkait dengan penggunaan anggaran negara, keamanan negara, dan/atau permasalahan hukum pidana, bisa ditengarai acara tersebut tidaklah masuk kategori melanggar kepentingan publik, karena hampir pasti tidak memenuhi ketiga unsur di atas.
Dengan demikian, ada konteks yang berbeda menjelaskan peristiwa hukum terhadap persoalan kepentingan publik yang dijadikan dasar oleh KNRP, dengan menggunakan Pasal 11 P3 dan Pasal 13 Ayat (2) SPS. Pasal 11 P3 lebih menjelaskan perihal frekwensi yang terbatas, sehingga penggunaanya harus benar-benar untuk kepentingan publik. Sedangkan Pasal 13 Ayat (2) SPS dimana Ayat (3)-nya memperkenankan menyiarkan kehidupan pribadi sejauh untuk kepentingan publik, yang ada kaitannya dengan penggunaan anggaran negara, keamanan negara dan/atau permasalahan hukum pidana.
Langkah KPI memberikan peringatan keras kepada stasiun televisi yang menayangkan acara live tersebut dinilai cukup responsif, mengambil langkah cepat, meskipun sempat dinilai lamban. KPI menilai acara lamaran dimaksud tidak memberikan kemanfaatan bagi kepentingan publik secara luas.
Dari sini memperjelas KPI memiliki kewenangan yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, untuk mendefinisikan makna kepentingan publik dalam konteks penyiaran. Bukan pihak penyelenggara penyiaran atau apalagi artis yang bersangkutan. Maka seloroh “matikan saja televisinya jika tidak suka” menjadi tidak relevan dalam hal penyiaran berbasis frekwensi. Berbeda dengan media sosial yang berbasis internet, seperti youtube, netflix atau facebook, yang penggunannya berdasarkan kebutuhan personal (on demand).
Untuk itu, pihak RCTI dapat memberikan penjelasan sekaligus membuktikan kepada KPI bahwa penyiaran acara lamaran itu bagian dari informasi budaya Indonesia yang beragam. Kita semua mengetahui Indonesia memiliki adat istiadat yang berbeda-beda dalam prosesi lamaran sampai dengan pesta resepsi pernikahan. Jika narasi tersebut kuat dibangun, maka akan dapat meyakinkan acara live tersebut bermanfaat bagi kepentingan publik. Proses akhir dialektika antara pengawas penyiaran dengan penyelenggara stasiun penyiaran menjadi penting diketahui publik secara terbuka, agar masyarakat memahami dan terlindungi hak-hak informasinya.
Momentum Korektif
Protes KNRP terhadap penayangan secara live lamaran Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah harusnya dimaknai sebagai momentum korektif bagi penyelenggara penyiaran televisi. Meskipun kita juga memaklumi banyak masyarakat kita yang membutuhkan hiburan di televisi yang merupakan media penyiaran free to air (gratis).
Namun sepatutnya kita mematuhi undang-undang dan menghormati kelompok masyarakat yang menginginkan agar televisi menayangkan mata acara yang memiliki nilai kemanfaatan bagi publik, yang tidak memancing anggapan bahwa acara tersebut mengandung nilai-nilai konsumerisme atau hedonisme, apalagi kita masih berada di tengah-tengah krisis akibat dampak pandemi Covid-19, dimana hampir seluruh masyarakat terkena dampak secara ekonomi dan keuangan.
Pergulatan terhadap perdebatan konten penyiaran setidaknya meliputi dua hal, pertama apakah konten tersebut sesuai dengan P3-SPS produk KPI yang mengacu kepada amanat konstitusi, perundang-undangan, dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat meliputi nilai-nilai agama, etika moral dan adat istiadat yang dianut masyarakat Indonesia. Kedua, apakah konten acara itu dapat menarik perhatian publik, termasuk dalam pengemasannya. Terhadap yang kedua ini, penyelenggara penyiaran televisi berfikir keras dengan derasnya konten media baru. yang juga menjalankan fungsi “penyiaran” yang lebih dinamis.
Pertarungan konten televisi dengan konten penyiaran di media baru harus diakui sangat mengemuka di ruang publik, dan tidak dapat dimungkiri pemilik media memiliki pengaruh kuat terhadap media massa, termasuk pemilihan konten di dalamnya. Untuk itu menjadi tepat apa yang disampaikan oleh Vincent Mosco (1996), menyatakan komodifikasi dalam media massa yang tidak dapat dipisahkan dari pemilik media. Dalam komodifikasi tersebut ada tiga aspek, yakni konten/isi, khalayak dan pekerja, yang memiliki nilai ekonomi bagi media massa penyiaran. Tayangan live televisi dianggap mampu menyedot pemirsa secara masif sebagaimana konten media sosial menyerap subcribe dan viewer.
Potret di atas menjadi tantangan bagi penyelenggara penyiaran berbasis frekwensi menghadapi persaingan dengan media baru. Upaya legal misalnya mengajukan judisial review beberapa waktu lalu mengenai definisi penyiaran, yang meskipun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, bukanlah jalan akhir untuk berbenah agar televisi tetap diminati oleh sebagian besar masyarakat. Termasuk berbagai tayangan live, sepertilamaran Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah dan beberapa pasangan artis sebelumnya, menjadi mudah dipahami sebagai penyeimbang menghadapi media baru.
*Penulis adalah Analis Kebijakan Muda di Setwapres, sedang mengambil program doktoral ilmu hukum di Universitas Padjadjaran