OpiniPeristiwa

Subak Bali dan Arus Global Ketika Air Suci Mengalir ke Dunia Digital

Oleh Ngurah Sigit*

Di tengah pesatnya arus globalisasi dan digitalisasi, warisan budaya sering kali tergerus oleh derasnya modernitas. Namun, Subak sistem irigasi tradisional masyarakat Bali yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia justru mulai menunjukkan daya adaptasinya terhadap zaman.

Ketika air suci tak hanya mengalir ke sawah, tetapi juga ke platform digital, kita menyaksikan babak baru perjalanan nilai-nilai lokal dalam lanskap global.

Subak bukan sekadar sistem pengairan; ia adalah cerminan filosofi Tri Hita Karana harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Dalam praktiknya, Subak menyatukan petani dalam kebersamaan, gotong royong, dan spiritualitas yang mendalam. Namun kini, realitas berubah.

Generasi muda lebih akrab dengan layar ponsel daripada lumpur sawah. Tantangannya jelas: bagaimana membuat mereka tetap terhubung dengan akar budaya di era digital?

Beberapa komunitas dan penggiat budaya mencoba menjawab tantangan ini dengan mendigitalisasi Subak. Dokumentasi melalui video, pameran virtual, hingga media sosial menjadi sarana untuk memperkenalkan Subak ke dunia. Bahkan, ada upaya untuk memetakan sistem Subak dengan teknologi drone dan GIS, sebagai bentuk pelestarian berbasis data.

Namun langkah ini tidak tanpa risiko. Digitalisasi kadang membawa simplifikasi. Nilai-nilai luhur bisa tereduksi menjadi sekadar konten visual. Ada kekhawatiran bahwa dalam proses ini, Subak akan kehilangan rohnya dan hanya menjadi “objek” wisata atau tontonan global.

Di sinilah peran jurnalisme dan literasi budaya menjadi penting. Kita tidak bisa hanya mengandalkan teknologi; kita butuh narasi yang kuat, jujur, dan kontekstual. Perlu diingat bahwa Subak bukanlah artefak, tapi sistem hidup yang berdenyut bersama komunitasnya. Maka, digitalisasi harus memperkuat, bukan menggantikan. Teknologi harus menjadi jembatan, bukan jurang.

Ketika air suci Subak mengalir ke dunia digital, kita dihadapkan pada pilihan: apakah kita akan membiarkannya menguap dalam algoritma global, atau mengarahkan alirannya agar tetap menyuburkan tanah identitas dan kearifan lokal?

Jawabannya ada pada kita semua baik sebagai warga Bali, warga Indonesia, maupun warga dunia yang peduli pada keberlanjutan budaya.

*Penulis adalah Sosiolog, Budayawan dan Pemerhati Media.

Set Pancing 1.8m/2.1m Joran Pancing 1000-4000 Reel Pancing shopee.co.id
Cod Paket 1 Get 3 Pcs / Polo Shirt Tangan Pendek / Kaos Kerah shopee.co.id
SPEEDS Meja Kurs Lipat Set Free Meja Lipat Kursi Lipat Outdoor shopee.co.id
Kemeja Pria Lengan Panjang Darvas Baju Hem Cowok Kerja shopee.co.id

Discover more from sandimerahputih.com

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Discover more from sandimerahputih.com

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading