Opini

Sosiologi Hukum Waktu

Oleh Ngurah Sigit*

Di tengah derap langkah kehidupan yang tak pernah berhenti, waktu mengalir bagai sungai yang terus bergerak, membawa serpihan-serpihan kisah manusia dalam arus yang tak terbendung. Waktu bukanlah sekadar angka yang bergerak di atas jam dinding atau kalender yang tergantung di ruang kerja. Ia adalah entitas misterius yang menghadirkan dimensi kompleks dalam kehidupan sosial manusia, termasuk dalam ranah hukum yang mengatur gerak langkah peradaban.

Betapa menariknya menyaksikan bagaimana masyarakat modern memperlakukan waktu layaknya komoditas berharga. Setiap detik diukur dengan presisi, setiap menit ditimbang dengan kalkulasi ekonomi, dan setiap jam direncanakan dengan agenda-agenda yang tersusun rapi. Paradoks pun tercipta – manusia yang mengira telah menaklukkan waktu justru menjadi budak dari rantai temporal yang mereka tempa sendiri. Dalam pusaran ini, hukum hadir sebagai wasit yang mengatur permainan waktu dalam arena kehidupan sosial.

Pernahkah kita membayangkan bahwa setiap kebudayaan memiliki “bahasa waktu” yang berbeda? Di sudut-sudut pedesaan yang masih menjaga kearifan tradisional, waktu mengalir dengan ritme yang berbeda. Mereka menari mengikuti irama alam, menghitung hari dengan terbitnya matahari, dan mengukur musim dengan tanda-tanda alamiah. Sementara di jantung kota metropolitan, waktu berpacu dengan kecepatan digital, menciptakan gelombang urgensi yang tak henti-hentinya.

Hukum, sebagai produk peradaban, mencoba menjembatani jurang perbedaan ini. Ia menciptakan standardisasi waktu dalam bentuk tenggat waktu pengajuan gugatan, masa penahanan, atau jadwal persidangan. Namun, standarisasi ini terkadang menciptakan ketegangan dengan realitas sosial yang beragam. Bayangkan seorang petani tradisional yang harus berhadapan dengan sistem peradilan modern yang menggunakan “bahasa waktu” yang asing baginya.

Era digital telah membawa revolusi dalam cara manusia memahami dan mengelola waktu. Dinding-dinding temporal yang dahulu kokoh kini runtuh oleh gelombang digitalisasi. Transaksi finansial terjadi dalam hitungan detik, komunikasi mengalir tanpa jeda geografis, dan aktivitas sosial berlangsung dalam ruang virtual yang tak mengenal siang dan malam. Hukum, yang dahulu terbiasa dengan ritme yang lebih lambat dan teratur, kini harus berlari mengejar akselerasi perubahan ini.

Smart contract hadir sebagai pionir revolusi temporal dalam dunia hukum. Perjanjian yang dahulu membutuhkan waktu berhari-hari untuk difinalisasi, kini dapat terlaksana dalam hitungan detik. E-court membawa proses peradilan ke dimensi waktu yang berbeda, di mana keadilan tidak lagi terikat oleh batasan ruang dan waktu konvensional. Namun, di balik kemajuan ini, tersimpan pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang esensi keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan.

Waktu dalam hukum bukan sekadar alat ukur – ia adalah cermin yang memantulkan nilai-nilai, harapan, dan ketakutan masyarakat. Ketika kita menetapkan batas waktu untuk sebuah tindakan hukum, sesungguhnya kita sedang mendefinisikan apa yang kita anggap “wajar” dan “adil”. Ketika kita memberi tenggat waktu untuk sebuah proses legal, kita sedang menggambarkan ekspektasi sosial tentang kecepatan dan efisiensi.

Di tengah kompleksitas ini, sosiologi hukum waktu mengajak kita untuk merenung lebih dalam. Bagaimana menciptakan sistem hukum yang menghormati keragaman temporal sambil tetap menjaga kepastian? Bagaimana menyeimbangkan tuntutan efisiensi dengan kebutuhan akan proses yang bermakna? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar teka-teki akademis, melainkan tantangan nyata yang harus dijawab demi masa depan peradaban.

Waktu akan terus mengalir, membawa kita ke horizon-horizon baru yang belum terbayangkan. Dalam perjalanan ini, hukum harus terus berevolusi, tidak hanya dalam substansi tetapi juga dalam cara memahami dan mengatur dimensi temporal kehidupan sosial. Sosiologi hukum waktu bukan sekadar kajian tentang masa lalu atau analisis masa kini – ia adalah kompas yang membantu kita menavigasi masa depan, di mana waktu, hukum, dan masyarakat akan terus menari dalam tarian abadi yang penuh makna.

*Penulis adalah Sosiolog. Budayawan dan Pemerhati Media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.