PERPPU N0. 2/2017, PERPU CCTV
Oleh: Kolier L. Haryanto*
SESUNGGUHNYA alasan diundangkannya Perppu No. 2/2017 hanyalah untuk memberi “penegasan” kewenangan kepada Kemendagri untuk dapat mencabut SKT (Surat Keterangan Terdaftar), dan Kemenkumham untuk dapat mencabut SPBH (Surat Pengesahan Badan Hukum) terhadap ormas yang “radikal” atau yang “menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau faham yang bertentangan dengan Pancasila”.
Alasan hukumnya adalah bahwa dalam UU No. 17/2013 tentang Organisasi Masyarakat tidak mewadahi asas hukum administrasi contrarius actus, atau asas hukum bahwa lembaga yang mengeluarkan izin atau yang memberikan pengesahan, adalah lembaga yang seharusnya mempunyai wewenang untuk mencabut atau membatalkannya. Di samping alasan keamanan, yaitu untuk mencegah meluasnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Karena disinyalir ormas yang jumlahnya mencapai 344.063 (2017), beberapa diduga telah melakukan aktivitas yang dapat membahayakan NKRI.
Atas keluarnya perppu itu, terdapat pro dan kontra. Dan secara sederhana dapat digeneralisasi yang pro atau yang dapat menerima adalah kelompok yang menganggap perlu adanya “aturan” yang dapat berperan sebagai “CCTV”. Dimana pemerintah sebagai “penjaga keamanan” bisa menafsirkan isi hasil rekaman. Apakah mereka yang terekam dalam CCTV itu melakukan perbuatan yang wajar atau perbuatan melawan hukum yang dapat membahayakan Pancasila dan NKRI. Sedangkan yang kontra, yang tidak bisa menerima perppu itu, karena mereka menganggap bahwa CCTV tersebut sangat mengganggu privasi, tidak demokratis dan melanggar hak asasi manusia.
Terhadap lahirnya perppu ini, mari kita berfikir rileks, dan sudi bertanya ke dalam hati kita masing-masing sebagai anak negeri. Apakah kita cinta NKRI, apakah kita menerima Pancasila sebagai dasar negara, dan apakah kita setuju jika negara ini melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan ksejahteraan umum. Jikalau jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu semua adalah IYA. Maka kita sebenarnya tidak perlu khawatir dengan lahirnya Perppu No. 2/2017. Karena hakikatnya perppu ini hanya merupakan CCTV, agar seluruh anak bangsa bertekat melindungi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sehingga mempercepat terwujudnya kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dan negara, yang merupakan tujuan nasional Indonesia.
Meskipun demikian, adanya ketidaksetujuan pihak-pihak dan atau ormas-ormas yang kritis terhadap pasal-pasal dalam perppu tersebut, khususnya Pasal 59 ayat (4) huruf c, Pasal 61 ayat (1), Pasal 80A, dan Pasal 82A ayat (2) dan ayat (3) — tentu juga harus diapresiasi dan dihormati.
Mereka berpendapat bahwa perppu itu merupakan bentuk kemunduran demokrasi, dan bisa berbahaya jika disalahgunakan oleh penguasa. Sebab mungkin bisa saja terjadi, hanya karena “gaya” atau “ungkapan” yang berbeda dari seseorang yang menjadi pimpinan/pengurus ormas-ormas tertentu dalam mengekspresikan kecintaan terhadap Pancasila, UUD1945 dan NKRI, tapi ditafsirkan sebaliknya sebagai tindakan yang mengancam Pancasila, UUD 1945 dan NKRI, sehingga mendapat hukuman yang berat.
Oleh sebab itu, adanya ormas yang menggugat perppu itu ke MK (Mahkamah Konstitusi), dan terdapat berbagai pandangan dari perseorangan maupun lembaga yang kesimpulannya untuk mendorong agar perppu tersebut dibatalkan oleh MK atau tidak diterima sebagai undang-undang oleh DPR haruslah kita hormati.
Katakanlah gugatan tersebut dikabulkan, atau perppu itu tidak diterima sebagai undang-undang. Maka, apakah kewenangan Kemendagri untuk mencabut SKT, dan Kemenkumham untuk mencabut SPBH seperti yang tertuang dalam perppu dimaksud akan “hilang”. Jawabnya tentu saja, tidak.
Asas hukum sesungguhnya memang tidak perlu ditegaskan jadi norma dalam peraturan perundang-undangan. Asas contrarius actus, atau asas bahwa pejabat tata usaha negara yang menerbitkan surat izin atau pengesahan dapat mencabut surat izin atau pengesahaan tersebut akan tetap eksis dan nyata, meskipun kewenangan itu diatur oleh undang-undang diserahkan ke pengadilan.
Misalnya, pengesahan badan hukum yayasan. Untuk membatalkan pengesahan badan hukum ini, diatur dalam undang-undang harus melalui proses hukum di pengadilan. Tetapi dalam hal ini, pengadilan dalam putusannya hanya “menyatakan” batal atau tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Yang dapat mencabut surat pengesahan sebagai badan hukum (SPBH) tetap pejabat tata usaha negara yang menerbitkan, yaitu Kemenkumham. Ini artinya bahwa, asas hukum contrarius actus tidak hilang atau terhapus, meskipun kewenangan pembatalan telah diserahkan melalui proses pengadilan, atau contrarius actus besifat pasif. Hal ini dapat dilihat juga pada berbagai putusan pengadilan tata usaha negara dan atau perdata, yang ternyata masih memerlukan eksekusi dari pejabat tata usaha negara yang menerbitkan produk tata usaha negara.
Sementara jika kewenangan untuk mencabut surat izin atau pengesahan itu tidak diaturdalam undang-undang, maka asas contarius actus itu bersifat aktif. Artinya, kewenangan itu dimiliki langsung oleh pejabat tata usaha negara yang menerbitkan produk tata usaha negara, dengan atau tanpa putusan pengadilan secara spontan (spontane vernietiging).
Hal di atas menunjukkan bahwa, asas contrarius actus itu tetap melekat pada pejabat tata usaha negara dengan diatur, atau tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Atau dengan lain kalimat, dibatalkan atau tidak diterimanya Perppu No. 2/2017 menjadi undang-undang – Kemendagri dan Kemenkumham tetap memiliki kewenangan untuk mencabut izin atau pengesahan terhadap ormas tertentu yang dianggap melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan/ atau mengancam Pancasila dan NKRI.
Meskipun demikian, jika atas tindakan pejabat tata usaha negara tersebut dianggap bertentangan dengan hukum, atau asas-asas umum pemerintahan yang baik, atau merugikan perserorangan atau badan hukum (ormas tertentu), peraturan perundang-undangan telah menjediakan sarana hukum untuk melakukan gugatan ke pengadilan. Dengan demikian adanya kekhawatiran yang berlebihan terhadap pelaksanaan undang-undang, penyalahgunaan wewenang dan atau asas contrarius actus dari pejabat tata usaha negara tidak perlu terjadi.
Sedangkan terhadap anggapan adanya pasal yang bersifat otoritarian oleh beberapa pihak, sesungguhnya bisa tidak beralasan jika hanya dialamatkan kepada Perppu No. 2/2017 yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi. Sebab, UU No. 27/ 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Keamanan Negara, yang diundangkan di masa pemerintahan Presiden BJ Habibie juga mengatur ketentuan pidana, yang mirip dengan pasal-pasal yang diatur pada Perppu No. 2/ 2017.
Misalnya ketentuan Pasal 59 ayat (4) huruf c jo. Pasal 60 ayat (2) jo. Pasal 82A ayat (2) perppu itu mirip dengan isi Pasal 107 huruf b UU No. 27/ 1999, “Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara …, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 tahun. Bedanya, dalam undang-undang itu ditujukan kepada setiap warga negara, tanpa batasan pidana minimal, dan mengedepankan asas praduga tak bersalah. Namun, faktual undang-undang ini juga membatasi kebebasan untuk menyatakan pendapat di muka umum, yang merupakan salah satu unsur dalam demokrasi. Dan ketentuan pidana dalam perppu lainnya, sebenarnya juga telah terakomidir pada pasal-pasal pidana dalam KUHP.
Perdebatan panjang perlunya ketentuan peraturan perundang-undangan tentang keamanan negara versus demokrasi selalu menyisakan pertanyaan. Apakah negara masih perlu menerbitkan aturan baru, atau tidak. Semua akhirnya hanya persepsi, esee est percipi, tapi rasanya dengan berbagai ketentuan pidana pada peraturan perundang-undangan yang ada sudahlah cukup. Tinggal bagaimana menerapkan “model” penegakkan hukumnya, agar efektif. Karena sejatinya negara ini didirikan tidak bertujuan untuk menghukum warga negaranya, tetapi untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum. So let’s the country right and no wrong.
*Penulis adalah Pendiri Indonesia Future Institute (IFI)