Merancang Haluan Negara
Oleh: K. Haryanto
PADA 18 September 2017 di Graha Gunadarma University diadakan kegiatan Forum Rektor Indonesia (FRI) dengan tema “FGD Haluan Negara.” Kegiatan ini merupakan yang keempat untuk mendorong disusunnya kembali “Haluan Negara” yang akan ‘dimandatkan’ kepada Presiden untuk dilaksanakan agar dalam penyelanggaraan pemerintahan terencana dan berkelanjutan menuju tujuan pembangunan nasional Indonesia.
Menyoal haluan negara, pikiran kita selalu melekat dengan Jenderal Besar Suharto dan pemerintahan Orde Baru. Sehingga isu ini bisa menjadi sensitif, jika dipahami dengan pendekatan politik yang sempit. Bahkan bisa dimaknai oleh kelompok tertentu sebagai ‘rindu’ Orba.
Dahulu GBHN (Garis Garis Besar Haluan Negara) merupakan produk MPR dalam bentuk Ketetapan MPR, yang dimandatkan kepada presiden untuk dilaksanakan dan dipertanggung jawabkan. Sehingga produk hukum ini (baca: Ketetapan MPR tentang GBHN) memiliki daya ikat yang kuat bagi presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun setelah dilakukan amandemen Pasal 1 ayat (2) dan lahirnya Pasal 6A ayat (1) UUD 1945, maka dengan sendirinya GBHN yang dimandatkan kepada presiden menjadi tiada. Karena di samping MPR bukan lagi sebagai pemegang kedaulatan rakyat, presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Untuk itu FRI yang masih menganggap perlu adanya haluan negara yang merupakan pedoman penyelenggaraan negara yang berkelanjutan menuju 100 Tahun, atau Indonesia Emas di 2045 terus melakukan berbagai upaya untuk mewujudkanya. Dan agar tidak terjebak dalam ‘pandangan sempit politik,’ FRI selain melakukan diskusi publik dengan para akademisi dan ahli hukum tata negara, juga melakukan road show audiensi kepada pimpinan DPR, DPD dan MPR. Hasilnya memperoleh dukungan, dan akan diformulasikan dalam suatu produk hukum yang memiliki daya ikat yang kuat terhadap presiden, yang menurut catatan FRI akan mulai dibahas bulan September tahun ini oleh lembaga-lembaga tinggi negara itu.
Konstruksi Hukum
Menurut Pokja Haluan Negara FRI bahwa target produk hukum untuk memayungi haluan negara itu adalah ‘semacam Ketetapan MPR,’ sehingga masih perlu menunggu amandemen ‘terbatas’ UUD 1945.
Jika demikian, maka FRI masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk menunggu, karena hingga saat ini belum ada agenda untuk amandemen UUD 1945. Dan secara politik akan sangat sulit untuk dilaksanakan dalam waktu dekat, karena adanya Sidang MPR, atau Joint Session DPD dan DPRbisa menjadi ‘bola liar’ yang sulit dikendalikanuntuk tidak membahas permasalahan pemerintahan yang lain.
Selain itu, produk hukum DPR, DPD, atau bahkan MPR dalam bentuk “ketetapan” bukan merupakan peraturan perundang-undangan yang bisa mengikat presiden untuk dilaksanakan. Hal ini dikecualikan terhadap Ketetapan MPR yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yakni Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. 1/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Oleh karena itu, jika “haluan negara” itu harus dalam bentuk peraturan perundang-undangan, maka konstruksi hukum yang paling memungkinkan saat ini adalah dalam bentuk undang-undang. Ini tetap akan memiliki daya ikat terhadap presiden dan organisasi administrasi negara di bawahnya, apalagi jika DPD dan DPR aktif untuk melakukan pengawasan terhadap produk hukum haluan negara ini. Artinya, jika presiden atau organisasi dibawahnya melakukan penyimpangan atau pelanggaran, lembaga tinggi negara yang memiliki tugas pengawasan itu dapat meminta pertanggung jawaban kepada presiden. Bahkan KPU (Komisi Pemilihan Umum), dapat menjadi filter awal untuk menyaring, menyesuaikan visi-misi pasangan calon presiden dan wakil presiden agar bersesuaian dengan undang-undang haluan negara.
Substansi Hukum
Dalam hal ini menurut Pokja, FRI tidak akan masuk pada substansi haluan negara. FRI hanya akan mengusulkan kepada DPR, DPD, MPR dan Presiden betapa pentingnya negara ini memiliki suatu haluan negara.
Terkait dengan itu, FRI sebagai wadah para pimpinan “Industri SDM Super” (baca perguruan tinggi) sudah seharusnya memberikan usulan substansi yang jelas, kongkrit, menyeluruh (integrated), dan berkelanjutan dalam haluan negara itu. Hal ini penting agar adanya kekhawatiran bahwa penyelenggara pemerintahan dalam pelaksanaan pembangunan akan berlaku “moral hazard” dan tidak berkelanjutan dapat dicegah dengan bingkai produk hukum haluan negara sebagiamana yang diharapkan FRI. Dan selanjutnya lembaga tinggi negara yang berwenang dalam penyusunan undang-undang, yakni DPD, DPR dan Presiden tinggal melakukan hearing dengan berbagai kelompok masyarakat, termasuk ahli agar substansinya menyeluruh dan lebih aspiratif guna penyempurnaan.
Pada saat ini substansi pembangunan yang masih banyak disorot publik karena terkesan seperti tidak ada perencanaan yang jelas, baik, tepat dan berkelanjutan antara lain adalah, a) pilihan model dan arah pembangunan ekonomi, b) pengelolaan keuangan c) dasar korporasi negara, d) dasar swastanisasi penguasaan kegiatan ekonomi yang menguasai hajat hidup masyarakat, e) pembangunan SDM, f) pemanfaatan SDA yang tak terbarukan dan swasembada energi melalui energi terbarukan, g) industri pertanian, h) industri kemaritiman, i) industri manufaktur, j) industri pariwisata, k) model pembangunan wilayah pedesaan dan terpencil, l) pembangunan UMKM, m) infrastuktur dan kemudahan masyarakat, n) sains dan teknologi, o) pertumbuhan ekonomi yang terkait dengan pemanfaatan pengetahuan dan teknologi komunikasi informasi, p) perdagangan orientasi ekspor, q) pola hubungan pemerintah pusat-daerah yang memakmurkan, r) penyiapan lapangan kerja penuh, dan s) keadilan sosial dan kesejahteraan. Di mana setiap substansinya harus dijabarkan secara ringkas, jelas, dan terukur. Artinya, setiap kurun waktu yang ditetapkan harus ada indikator-indikator keberhasilannya dan berkelanjutan, yang harus dipertanggung jawabkan oleh presiden.
Meskipun harus disadari bahwa untuk mewujudkan produk hukum haluan negara seperti itu tidak mudah, karena menyangkut komitmen politik penyelenggara negara untuk menerima pengawasan, dan dengan pertanggung jawaban. Tetapi hal ini akan lebih mudah diwujudkan, jika Undang-Undang Haluan Negara itu dapat disusun sebelum pemilihan presiden. Karena tentu akan memiliki resiko kehilangan polularitas bagi siapapun, termasuk partai politik yang akan mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden, jika ia berkeberatan terhadap pentingnya haluan negara bagi suatu negara.
Nama dan Kurun Waktu Haluan Negara
Sampai FGD keempat ini, Pokja FRI belum memiliki nama yang dirasakan tepat untuk menyebut selain haluan negara, dan kurun waktu berlakunya.
Terkait dengan itu, dalam sejarah pemerintahan Indonesia pernah ada tiga nama yang dipakai untuk menyebut rencana pembangunan nasional, yaitu: (1) PNSB (Pembangunan Nasional Semesta Berencana) Tahap Pertama 1961-1969 yang diatur dalam TAP MPRS No. II/MPRS/1960; (2) GBHN atau Repelita di era Orde Baru yang diatur dalam Ketetapan MPR; dan (3) pada waktu pemerintahan presiden SBY disebut RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) untuk pembangunan lima tahunan yang diatur dalam perpres, dan RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) untuk pembangunan 2005-2025 yang diatur dalam undang-undang.
Pada saat ini RPJMN 2015-2019 yang dilaksanakan pemerintahan presiden Joko Widodo ditetapkan melalui Perpres No. 2 Tahun 2015 yang disusun berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025. Di mana UU RPJPN ini merupakan amanat Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dengan skala waktu 20 (dua puluh) tahunan. Sehingga RPJPN Tahap Kedua akan memiliki kurun waktu 2025-2045, atau berakhir pada peringatan 100 Tahun Indonesia, atau Tahun Indonesia Emas.
Dengan demikian sesungguhnya kita telah memiliki haluan negara, dalam bentuk RPJMN dan RPJPN 2005-2025, tetapi menurut beberapa pihak dianggap terlalu menitik beratkan pada aspek pembangunan fisik seperti GBHN. Bahkan dianggap executive centrist, karena hanya mengatur “haluan pemerintahan,” yang merupakan formalisasi visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih, yang kemudian disusun dan ditetapkan sendiri oleh pemerintah dengan perpres. Sehingga, haluan negara yang seharusnya juga menyangkut hal-hal yang bersifat fundamental, seperti pembangunan karakter bangsa dan revolusi kebudayaan (mental), yang mencerminkan kehendak segenap rakyat tidak terwadahi.
Penutup
Merujuk hal-hal di atas, jika FRI hendak merancang “haluan negara,” maka sedikitnya ada empat hal yang harus ditetapkan. Pertama, konstruksi hukumnya dalam bentuk undang-undang. Hal inilah yang paling realistis, karena terkait dengan haluan negara ini telah terikat dengan berbagai ketentuan dalam undang-undang, dan UUD 1945. Kedua, substansinya harus jelas, konkrit, terukur dalam mencapai tujuan nasional, dan menyangkut aspek-aspek yang bersifat fundamental, atau tidak semata-mata fisik. Ketiga, kurun waktu 20 (dua puluh) tahunan, sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004. Keempat, nama yang digunakan bisa dengan nama “Pembangunan Semesta Berkelanjutan Indonesia” (ISDI/ Integrated Sustainable Development of Indonesia), atau nama lain yang bisa menggambarkan pembangunan Indonesia yang berkelanjutan dan bersifat menyeluruh.
Apabila hal itu disepakati, maka FRI segera mulai dengan melakukan pengkajian dan penyempurnaan terhadap substansi UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, dan mengusulkan rancangan undang-undang baru tentang ISDI Tahap Pertama 2005-2025 yang masih tersisa 7 tahun. Dan selanjutnya menyusun rancangan undang-undang ISDI Tahap Kedua 2025-2045 menuju 100 Tahun Indonesia, atau Tahun Indonesia Emas. Dengan demikian, FRI tidak kehilangan waktu berlama-lama guna memenuhi harapannya memberikan kontribusi nyata demi terarahnya transformasi nasional menuju Indonesia Emas, Indonesia hebat yang maju, makmur, berkeadilan sosial dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena kita semua sepakat bahwa in all forms of government people is the true legislator (Seminyak, 18/9/2017).
*Penulis adalah Pendiri Indonesia Future Institute (IFI)