Mendikbud: 3 Indikator Guru Profesional yaitu Keahlian, Tanggung Jawab Sosial dan Rasa Kebanggaan Bersama
Jakarta |
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bekerja sama dengan Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) menggelar lokakarya dengan tema ‘Guru Milenial: Sebuah Profesi di Masa Depan’, di kantor Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Kamis (10/10).
Lokakarya diselenggarakan alam rangka memperingati Hari Guru Sedunia yang diperingati setiap tanggal 5 Oktober.
Pada kesempatan itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy kembali mengingatkan pentingnya profesionalisme guru untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) unggul.
Menurut Mendikbud jika dirinya ditanya, di pendidikan apa yang harus pertama diprioritaskan dipastikan jawabannya adalah guru. “Karena guru inilah kuncinya. Kita tidak mungkin berbicara SDM unggul, kalau guru tidak memiliki kapasitas itu. Karena itu di akhir masa jabatan, saya fokus ke guru,” ujar Muhadjir Effendy.
Dijelaskan olehnya, terdapat 3 indikator guru profesional, yaitu keahlian, tanggung jawab sosial, dan rasa kebanggaan bersama. Sebagai pekerjaan profesional, profesi guru menuntut keahlian tertentu yang diperoleh dari pendidikan dan pelatihan dalam waktu yang cukup lama dengan tingkat kesulitan yang sangat tinggi.
“Tidak ada yang bisa mengerjakan pekerjaan itu kecuali mereka yang belajar dan terlatih cukup lama. Itu baru namanya pekerjaan profesional,” sebut Muhadjir
Kalau ada pekerjaan, sambungnya, tidak perlu sekolah lama-lama atau juga tingkat kesulitan tidak terlalu tinggi, sehingga hampir semua orang bisa melaksanakan, maka itu bukanlah profesi,” ucapnya.
Muhadjir juga berharap agar setiap guru dapat memahami tanggung jawab sosial yang menempel pada profesinya. Dampak pekerjaan seorang guru tidak hanya bersifat pribadi, melainkan sifatnya publik.
“Misalnya guru itu mengajari anak salah, maka yang menderita nanti bukan hanya anak yang salah itu, tetapi semua orang yang berelasi dengan anak itu,” tutur Guru Besar Universitas Negeri Malang itu.
Ditekankan juga oleh Mendikbud, perlunya guru membangun asosiasi profesi berbasis kesejawatan. Menurutnya seorang profesional pasti selalu berhubungan dengan sesama koleganya, sejawatnya, seprofesinya untuk saling tukar pengalaman berbagi pengalaman terhadap profesi yang dilakukan.
“Di situlah pentingnya asosiasi profesi. Jadi itulah mengapa di dalam Undang-undang Guru dan Dosen harus bergabung dengan asosiasi profesi,” terangnya.
Muhadjir juga memotivasi guru-guru yang masih berstatus honorer dengan gaji yang relatif kecil. Ia berpesan agar para guru yang belum memiliki status pegawai tetap tidak berkecil hati. Apalagi sampai menganggap rendah dirinya sendiri. “Tentang kedudukan guru honorer, bagaimana kita membangun kepercayaan diri di depan kelas, percaya bahwa profesi guru disegani,” ungkapnya.
Muhadjir juga menyampaikan upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan guru. Khususnya kejelasan status para guru honorer yang telah cukup lama mengabdi.
“Pak Dirjen GTK dengan pak Dirjen Perimbangan Keuangan sedang bekerja keras memastikan. Mudah-mudahan mulai tahun depan (gaji) guru honorer tidak diambilkan dari BOS (Bantuan Operasional Sekolah), tetapi dari DAU (Dana Alokasi Umum),” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Harian KNIU Arief Rachman dalam sambutannya mengatakan, bahwa tema yang dipilih pada peringatan Hari Guru Internasional kali ini merupakan persepsi dan perhormatan publik terhadap profesi guru.
Disampaikan Arief, tantangan pada profesi guru dan tenaga kependidikan menimbulkan kekhawatiran karena masih terjadi penurunan jumlah generasi penerus untuk melanjutkan estafet profesi guru.
Menurut target pendidikan dalam SDGs 2030, dibutuhkan lebih dari 69 juta guru yang dapat secara aktif berpartisipasi dan berdedikasi membangun pendidikan dunia.
“Dari jumlah ini, 48,6 juta rekrutan baru akan diperlukan. Ini adalah angka-angka yang tadi oleh Pak Dirjen (Guru dan Tenaga Kependidikan) dijelaskan secara rinci dan yang perlu kita ketahui bersama,” imbuhnya.
Berita: Mh | Foto: Istimewa/Humas