Kematian, Awal Pejalanan Baru Kehidupan?
Oleh Ngurah Sigit*
Kita sering berbicara tentang kehidupan, merayakannya, memaknainya. Namun, ketika topik beralih ke kematian, percakapan biasanya terhenti. Kematian, kata yang membawa rasa dingin di punggung dan keheningan yang mencekam. Tapi, bagaimana jika selama ini kita salah memahami kematian? Bagaimana jika kematian bukanlah akhir, melainkan babak baru dalam perjalanan hidup yang lebih besar dan lebih megah?
Bayangkan hidup ini seperti sebuah buku. Setiap bab penuh dengan cerita: kebahagiaan, kehilangan, cinta, perjuangan. Ketika satu bab berakhir, kita tak menutup buku itu selamanya, bukan? Sebaliknya, kita membuka halaman berikutnya, penasaran akan apa yang akan terjadi. Kematian adalah akhir satu bab, tetapi juga awal dari bab baru yang belum terungkap.
Dalam banyak tradisi, kematian dipandang bukan sebagai kegelapan abadi, melainkan cahaya yang membawa kita ke alam yang berbeda. Dalam filsafat Timur, misalnya, ada keyakinan bahwa jiwa kita seperti air di sungai—selalu mengalir, berubah bentuk, tetapi tak pernah benar-benar menghilang. Reinkarnasi, seperti lingkaran tanpa akhir, memberi kita kesempatan untuk terus belajar dan tumbuh.
Pernahkah kamu melihat bagaimana benih kecil tertanam di tanah? Dari luar, terlihat seperti akhir—benih itu terkubur, tersembunyi, hilang dari pandangan. Tapi di balik permukaan tanah, terjadi keajaiban. Benih itu pecah, hancur, lalu tumbuh menjadi pohon yang megah, memberikan kehidupan baru bagi dunia di sekitarnya. Bukankah ini mirip dengan kematian? Apa yang terlihat seperti akhir hanyalah awal dari kelahiran sesuatu yang lebih besar.
Namun, makna kematian tak hanya terletak pada apa yang terjadi setelahnya. Ia mengajarkan kita untuk hidup lebih sungguh-sungguh di sini, sekarang. Kita takut akan kematian bukan karena ia membawa akhir, tetapi karena kita belum benar-benar hidup. Kematian menyentil kita, mengingatkan bahwa waktu kita terbatas, bahwa setiap detik adalah kesempatan berharga untuk mencintai, bermimpi, dan meninggalkan jejak.
Ketika seseorang yang kita cintai pergi, rasa sakitnya seperti jurang yang dalam. Tapi dari jurang itu sering muncul makna. Kita mulai memeluk lebih erat mereka yang masih bersama kita, berkata “aku mencintaimu” lebih sering, dan melihat kehidupan dengan cara yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. Kehilangan, meski menyakitkan, adalah pengingat betapa berharganya waktu yang kita miliki.
Dan mungkin, yang paling menarik dari kematian adalah misterinya. Kita tidak tahu pasti apa yang menanti di baliknya. Apakah itu cahaya terang di ujung lorong gelap? Sebuah reuni dengan jiwa-jiwa yang kita rindukan? Atau petualangan baru yang belum pernah kita bayangkan? Tak ada yang tahu. Tapi justru itulah yang membuat kematian menarik—seperti sebuah pintu menuju alam yang penuh kemungkinan.
Jadi, alih-alih melihat kematian sebagai musuh, bagaimana jika kita memeluknya sebagai bagian alami dari perjalanan? Sebuah transisi, bukan akhir. Sebuah kepompong yang membawa kita dari ulat yang sederhana menjadi kupu-kupu yang megah.
Kematian adalah awal kehidupan baru. Bukan sesuatu yang harus kita takuti, tetapi sesuatu yang harus kita pahami. Karena di balik pintu yang tertutup, selalu ada jalan yang menunggu untuk dijelajahi. Dan mungkin, ketika saat itu tiba, kita akan menyadari bahwa kematian bukanlah gelapnya malam, melainkan fajar yang baru mulai menyingsing.
*Penulis adalah Sosiolog, Budayawan dan Pemerhati Media.