Hukum

Jaksa Agung dan Jampidum Hadiri UNODC Side Event Pertemuan Sesi ke 31 CCPCJ

Jakarta |
Jaksa Agung Burhanuddin dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Fadil Zumhana menghadiri Acara United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Side Event Pertemuan Sesi ke 31 Commission on Crime Prevention and Criminal Justice (CCPCJ), di Gedung Menara Kartika Adhyaksa, Jakarta, Rabu (18/5).

Acara dengan tema ‘Penguatan Supremasi Hukum melalui Keadilan Restoratif’ juga dihadiri langsung secara zoom meeting oleh UNODC Indonesia Country Manager and Liaison to ASEAN Collie F Brown, Chair of the European Forum for Restorative Justice Tim Chapman, dan Project Manager/Lead Researcher-Thailand Institute of Justice Ukrit Sornprohm.

Pada kesempatan itu, Tim Chapman menyampaikan bahwa perubahan cara pandang dalam penerapan hukum pidana bergeser dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif (restorative justice).

Menurutnya kejaksaan sebagai pengendali perkara menjadi pihak yang memiliki kewenangan menilai melanjutkan atau tidaknya sebuah perkara ke persidangan.

”Tetapi, mandat penerapan restorative justice seharusnya dituangkan dalam aturan setingkat UU,” ujar Chapman, dilansir Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejagung, Senin (23/5).

Ditambahkannya, pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan perkara pidana menghindari kesalahan bagi pelaku di masa mendatang.

”Di banyak negara, praktik pendekatan keadilan restoratif yang tinggi diterapkan, khususnya di berbagai tahapan peradilan pidana,” jelas Chair of the European Forum for Restorative Justice itu.

Namun meskipun demikian, sambungnya, para penegak hukum sebagai pihak yang melaksanakan keadilan restoratif perlu meningkatkan kualitasnya.

”Serta penerapannya perlu dipantau secara berkala dengan hal utama yakni mengedepankan pemulihan bagi korban,” imbuh Chapman.

Sedangkan Ukrit Sornprohm memberikan pandangan, bahwa restorative justice menjadi keadilan yang humanis dan harmonis, karena tidak hanya membantu mengenalkan proses yang inklusif, tetapi memitigasi masalah-masalah lainnya sejak disahkannya prinsip-prinsip Persatuan bangsa-Bangsa (PBB) dalam penggunaan keadilan restoratif.

Dijelaskan Ukrit, di negara Thailand menerapkan prinsip keadilan restoratif dalam pencegahan terjadinya tindak pidana yang berulang.

Menurutnya, keadilan restoratif dipraktikkan dalam merajut para pihak berkonflik sehingga praktik penerapan restorative justice memiliki akar yang kuat dengan memasukkan unsur keagamaan dan kebudayaan dalam mencapai resolusi.

“Saat ini kami punya banyak bentuk restorative justice formal dan informal sehingga dapat diaplikasikan dalam sistem peradilan pidana dengan mengalihkan penghukuman kepada mediasi,” ungkapnya.

Meski demikian, lanjutnya, restorative justice harus difasilitasi oleh pihak-pihak berwenang, termasuk perlu diaturnya dalam UU mengenai kemungkinan pihak berwenang mengedepankan upaya mediasi khususnya tindak pidana ringan.

Dipaparkan Project Manager/Lead Researcher-Thailand Institute of Justice itu, bahwa ada beberapa tantangan dalam penerapan restorative justice. Diantaranya perlu diurainya penyelesaian akar masalah dimana tidak hanya kedua belah pihak mencapai kesepakatan damai, sehingga memunculkan solusi berkelanjutan antara lain memasukkan nilai-nilai agama dalam keadilan restorative justice.

”Tantangan lainnya yaitu kurangnya kesadaran masyarakat mengenai keadilan restoratif sehingga perlu dibangun keterampilan teknis, serta sarana prasarana termasuk perangkat hukum dalam penerapan keadilan restoratif,” pungkasnya.

Jampidum Fadil Zumhana dalam kesempatan itu menyampaikan, setelah berlakunya Peraturan Jaksa Agung (Perja) RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, banyak tindak pidana yang sifatnya ringan, dihentikan dan tidak dilanjutkan penuntutannya.

“Sampai dengan awal Mei 2022, Kejaksaan telah menghentikan sedikitnya 1.070 (seribu tujuh puluh) perkara, dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Banyak kisah inspiratif yang terjadi pada perkara yang dihentikan dengan pendekatan keadilan restoratif, dimana penghentian penuntutan tersebut telah memperkuat penerapan model keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia,” katanya.

Fadil mengemukakan, bahwa berdasarkan survei penelitian yang dilakukan oleh Komnas HAM sebesar 85,2 persen responden mendukung penerapan pendekatan keadilan restoratif untuk menghentikan perkara pidana yang tidak perlu serta kejahatan yang sifatnya ringan.

Disebutkan oleh Jampidum Kejagung itu, mengingat kondisi penjara di Indonesia sudah terlalu padat, masyarakat menuntut reformasi serius dalam praktik penegakan hukum yang cenderung berfokus pada pembalasan dengan pemenjaraan, daripada memulihkan keadilan.

Singkatnya, Fadil menggarisbawahi, penting untuk menemukan solusi mengurangi jumlah narapidana di lembaga pemasyarakatan. Penerapan praktik keadilan restoratif diharapkan membawa konsekuensi mengurangi napi di lembaga pemasyarakatan.

”Harapannya adalah penerapan keadilan restoratif dapat membantu pemerintah mengurangi Resdivisme, melestarikan nilai-nilai keadilan lokal dan mendorong rekonsiliasi antara korban, dan pelaku di masyarakat,” tutupnya.

Berita: Mh | Foto: Ist.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.