Jaga Independensi Hakim, IKAHI Dorong Penguatan Advokasi Hakim
Jakarta – Menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke 72 Ikatan Keluarga Hakim Indonesia (IKAHI), pengurus pusat organisasi tersebut menegaskan pentingnya memperkuat porsi advokasi hakim dalam mendukung independensi dan integritas para hakim di seluruh Indonesia.
Sekretaris Bidang Advokasi Hakim Pengurus Pusat (PP) IKAHI Djuyamto mengungkapkan bahwa organisasi tersebut perlu terus menjaga soliditas internal sebagai fondasi utama dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks, baik dari luar maupun dari dalam tubuh institusi peradilan itu sendiri.
“Soliditas dalam tubuh IKAHI harus terus dipupuk dan diperkuat. Dari soliditas itulah kekuatan organisasi terbentuk, dan dari situ pula kita bisa maju bersama menghadapi berbagai tantangan yang ada,” ujarnya, Kamis (10/4).
Pria dengan nama dan gelar lengkap Dr. Djuyamto SH.,MH menyampaikan, bahwa saat ini banyak hakim di berbagai daerah menghadapi berbagai permasalahan yang dapat mengganggu independensi mereka dalam menjalankan tugas yudisial.
Menurutnya permasalahan tersebut dapat bersumber dari gangguan eksternal seperti intervensi pihak luar, maupun dari internal lembaga itu sendiri.
“Oleh karena itu, IKAHI melalui Bidang Advokasi Hakim merasa perlu segera memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) atau panduan kerja advokasi hakim yang jelas dan sah secara organisasi,” jelas Djuyamto.
Hakim yang akrab disapa Pak Djoe itu mengungkapkan, bahwa pihaknya telah menyusun draft SOP terkait advokasi hakim. Namun sayangnya, sampai saat ini SOP tersebut belum difinalisasi dan disahkan secara resmi oleh PP IKAHI.
“Harapan kami, tahun ini SOP itu dapat segera dibahas dan ditetapkan, agar setiap langkah advokasi hakim yang dilakukan memiliki dasar dan acuan yang jelas,” terangnya.
Lebih lanjut, Djuyamto menyoroti pentingnya memberikan ruang dan akses yang cukup bagi para pencari keadilan. Menurutnya, masyarakat memiliki hak untuk menyampaikan keberatan terhadap suatu putusan pengadilan yang dianggap tidak adil. Namun, penyampaian keberatan tersebut harus dilakukan melalui jalur hukum yang tersedia, bukan dengan cara yang menyerang secara pribadi ( pembunuhan karakter hakim ) atau di luar koridor hukum.
“Kalau merasa putusan di pengadilan negeri tidak adil, tempuh saja upaya hukum yang tersedia. Misalnya banding, kasasi, atau peninjauan kembali,” tuturnya.
Djuyamto juga menyampaikan jika ada indikasi pelanggaran etik atau tindakan tercela dari hakim, masyarakat juga bisa melaporkannya ke Mahkamah Agung melalui jalur pengawasan atau Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI (Bawas) atau ke Komisi Yudisial (KY).
Ia mengingatkan bahwa tidak dibenarkan menyampaikan keberatan melalui media sosial (medsos) dengan cara menyerang pribadi hakim atau institusi peradilan secara tidak proporsional, apalagi jika disampaikan dengan cara-cara tidak etis. Menurutnya hal tersebut dianggap tidak mencerminkan etika berdemokrasi dan dapat merusak wibawa lembaga peradilan.
“Itu justru bisa memperkeruh suasana dan menciptakan opini yang menyesatkan publik. Kita pernah lihat kasus serupa terjadi di salah satu pengadilan di Jakarta Utara yang menyita perhatian. Itu adalah contoh penyampaian keberatan yang keliru,” ungkapnya.
Disampaikan juga oleh Djuyamto, bahwa sebagai organisasi yang menaungi para hakim dan keluarganya, IKAHI memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi integritas profesi hakim dari segala bentuk gangguan. Namun, perlindungan itu harus dilakukan dalam kerangka aturan yang sah dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
“Saya percaya bahwa dengan adanya SOP resmi untuk bidang advokasi hakim, kami bisa memberikan pendampingan dan perlindungan yang lebih maksimal bagi rekan-rekan hakim di seluruh Indonesia. Ini penting, karena banyak dari mereka yang sebenarnya butuh support ketika menghadapi permasalhan dalam menjalankan tugas,” ucapnya.
Kedepannya Djuyamto pun berharap bahwa melalui penguatan program advokasi hakim dan kesadaran hukum di masyarakat, tercipta sistem peradilan yang lebih bersih, adil, dan berwibawa.
“Penegakan hukum yang bermartabat hanya bisa terwujud jika semua pihak, baik aparat hukum maupun masyarakat umum, bersama-sama menjunjung tinggi etika dan proses hukum yang benar,” pungkasnya. (Mh/Foto: Ist.)