Hukum

Hakim R Ditangkap dan Ditetapkan Tersangka oleh Kejagung, Ini Sikap MA

Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) pada hari Selasa (14/1), merilis siaran pers, bahwa penyidik jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM-Pidsus) telah menetapkan R, mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya sebagai tersangka.

Alasan R dijadikan tersangka karena diduga melakukan tindak pidana korupsi (tipikor), yakni suap atau gratifikasi terkait penanganan perkara tindak pidana umum (tipidum) di PN Surabaya atas nama terpidana Ronald Tannur.

Menyikapi hal tersebut Ketua Mahkamah Agung (MA) menyampaikan dan menghormati proses hukum yang dilakukan oleh Penyidik JAM-Pidsus Kejagung.

Kepala Biro (Karo) Hukum dan Humas MA Sobandi dalam siaran persnya, Rabu (15/1), yang dibacakan oleh Juru Bicara (Jubir) MA Yanto menyampaikan bahwa Ketua MA mendorong agar proses tersebut dilaksanakan dengan tetap mengedepankan ketentuan hukum yang berlaku, serta dilakasanakan secara transparan, fair dan akuntabel.

“Ketua MA akan menunggu surat resmi tentang penahanan yang telah dilakukan kepada R, yang selanjutnya akan mengusulkan pemberhentian sementara saudara R sebagai hakim kepada Presiden RI,” ujarnya, saat menggelar konferensi pers di kantor MA, Jakarta Pusat, Rabu (15/1).

Terkait hal tersebut, sambung Yanto, pimpinan MA juga menekankan kepada aparatur pengadilan di seluruh Indonesia untuk tetap tenang, bekerja secara profesional, tetap menjunjung integritas dan kejujuran.

“Kepada seluruh pimpinan pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding agar melaksanakan garis kebijakan Ketua MA dalam memimpin, yaitu tetap dengan kesederhanaan dan menjauhi perbuatan tercela,” tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Jubir MA tersebut juga mengklarifikasi tentang pemberitaan rekan wartawan terkait adanya penulisan berita dengan menyebut ‘kebijakan MA mengenai kerugian negara’.

“Hal tersebut tidak benar, karena sewaktu saya ditanya rekan wartawan mengenai pengertian kerugian negara, saya hanya menunjuk ketentuan yang mengaturnya,” tuturnya.

Lebih lanjut Yanto menyampaikan bahwa dalam menangani perkara yang sedang berjalan, menurutnya yang mengetahui pokok permasalahan hanya hakim dan penuntut umum.

“Karena yang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta menemukan alat bukti adalah penyidik,” terang Yanto.

Sedangkan hakim, lanjutnya, dalam menjatuhkan putusan mempertimbangkan fakta persidangan yang kemudian menjadi fakta hukum, bila fakta persidangan tersebut terbukti adanya persesuain antara alat bukti yang satu dengan yang lain.

“Sehingga fakta hukum yang terbukti tersebut akan dipertimbangkan oleh hakim untuk menentukan kerugian negara dan juga untuk menentukan salah dan tidaknya terdakwa,” tutur Yanto.

Terkait kerugian negara, ia menerangkan, bahwa MA telah mengubah Rumusan Pleno Kamar Pidana Tahun 2016 angka 4 yang tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 terkait instansi yang menghitung kerugian keuangan negara, tertuang dalam SEMA Nomor 2 Tahun 2024.

“Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK, sedangkan instansi lainnya seperti badan pengawasan keuangan dan pembangunan atau inspektorat atau satuan kerja perangkat daerah atau akuntan publik tersertifikasi, tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan mengaudit pengelolaan keuangan negara, yang hasilnya dapat dijadikan dasar untuk menentukan ada tidaknya kerugian keuangan negara. Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat juga menilai adanya kerugian dan besarannya kerugian keuangan negara,” jelasnya.

Terkait pemberitaan beberapa rekan wartawan dalam perkara Harvey Mois, Jubri MA Yanto menerangkan bahwa mengenai keadaan yang memberatkan dan meringankan, dirinya berpendapat hal tersebut wajib dimuat dalam putusan.

“Saya luruskan, itu bukan pendapat saya, melainkan ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf f Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mewajibkan majelis hakim atau hakim mempertimbangkan dalam putusannya tentang keadaan-keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa, serta melihat sifat yang baik dan jahat dari terdakwa sebagaimana diwajibkan Pasal 8 Ayat (2) Undang Undang (UU) Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, sehingga hakim melaksanakan ketentuan normatif UU,” tutupnya.

Berita: Gate 13 | Foto: Ist./Humas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.