Opini

Hakim: Bukan Sekadar Pengadil, Tetapi Juga A Healer

Oleh Diana Melati Pakpahan*

MENJADI seorang Hakim adalah panggilan jiwa yang luhur, profesi yang terbilang sangat mulia. Hakim tidak dipilih hanya sebatas pada kepintarannya, tetapi Tuhanlah yang memilihnya bahwa ia layak dan mampu menjalankan tanggungjwab yang berat itu. Tidaklah mudah menyandang predikat Yang Mulia dimata para pencari keadilan.

Bahkan orang menyebut Hakim adalah perpanjangan tangan Tuhan atau wakil Tuhan, ditangan Hakimlah berada nasib seseorang ketika berhadapan dengan suatu permasalahan hukum. Dalam menangani suatu perkara Hakim tidak semata-mata merujuk pada aturan yang telah ada, tetapi seorang Hakim dituntut untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam Masyarakat.

Profesi Hakim telah lama dianggap sebagai profesi penyembuh konflik manusia. Seorang Hakim dianggap sebagai figur yang bertugas memulihkan martabat seseorang dan mengatasi kondisi yang tidak diinginkan. Peran atau perspektif ini sepenuhnya konsisten dengan filosofi humanistik atau kemanusiaan yang telah dipegang oleh banyak Hakim. Seorang Hakim dalam melaksanakan tugasnya dintutut untuk memiliki sifat yang jujur tanpa cela, sikap adil yang tegas dan kemampuan yudisial yang mumpuni. Hakim dituntut untuk bersikap obyektif dan tidak boleh membiarkan emosi pribadinya masuk ke dalam proses pengambilan keputusan. Namun, pada saat yang sama, seorang Hakim diharapkan untuk berbelas kasih, pemaaf, dan penuh pengertian, terutama ketika menerapkan kebijaksanaan yudisial.

Nilai-nilai yang dipegang seorang Hakim dapat terlihat setiap kali keputusannya muncul. Proses pengambilan keputusan itu sendiri sangat penting dan sulit. Tanggung jawab Hakim terhadap putusannya serta berbagai pengawasan yang dilakukan terhadap Hakim sering kali membatasi keinginan atau kemampuan Hakim untuk bersikap humanis pada saat yang sama. Ditambah proses pengambilan keputusan adalah tugas yang terstruktur dan dilakukan dalam konteks terbatas pada fakta-fakta dan hukum yang berlaku.

Dalam proses peradilan yang menuntut objektivitas tinggi dari sang pengambil keputusan yang diharuskan bersikap netral, seorang Hakim dapat dibenarkan untuk menghindari menunjukkan perspektif apa pun yang dapat digunakan oleh pengamat untuk menentukan pandangan atau keprihatinan pribadi Hakim. Berdasarkan hal tersebut Hakim biasanya memilih untuk tetap sedekat mungkin tidak terlihat, cenderung menjaga jarak, kaku dan tetap tidak mencolok.

Dalam banyak latar belakang sejarah, peran pengadilan dipandang sebagai penyembuh. Meskipun saat ini seringkali arahan atau tuntutan khususnya di bidang administratif kepada Hakim lebih banyak mementingkan keterampilan manajerial dan administratif, namun masih ada ruang untuk mempertimbangkan perspektif humanistik atau kemanusiaan sebagai salah satu alat yang paling penting bagi Hakim.

Persepsi masyarakat pada umumnya tentang Hakim adalah orang yang mengadili perkara di lembaga peradilan, berpakaian toga hitam dan memiliki tingkat prestise yang baik dalam strata sosial masyarakat pada umumnya. Hakim dipandang sebagai orang “suci” karena kedudukannya dan pemahamannya terhadap setiap persoalan hukum yang ada. Persepsi masyarakat tentang Hakim yang demikian itu tidak salah, akan tetapi memahami secara mendalam tentang Hakim sangat penting, terutama bagi para peminat ilmu hukum. Posisi Hakim sangat strategis dalam upaya penegakan hukum. Hakim adalah benteng terakhir, bila hakim hancur maka tidak ada gunanya segala pranata dan sistem hukum walaupun sangat baik. Di tangan hakim tempat keluarnya keadilan, Ia ibarat krain yang menyalurkan keadilan dari sumber- sumber keadilan terdalam dan tersembunyi dari pandangan masyarakat awam. Oleh karenanya hakim bukan corong peraturan perundang-undangan atau sekedar penerap hukum namun lebih daripada itu hakim juga diharapkan sebagai a healer atau penyembuh.

Adagium klasik “Ius est ars boni et aequi,” memiliki arti hukum adalah seni dari kebaikan dan keadilan. Adagium ini mengingatkan kita bahwa hukum lebih dari sekedar pasal yang kerap kali dianggap sebagai kumpulan aturan yang kaku dan teknis. Padahal, hukum adalah seni yang bertujuan menciptakan keseimbangan antara moralitas dan legalitas. Meskipun adagium ini terlihat sangat sederhana, sebenarnya adagium ini memiliki makna yang sangat mendalam. Hukum bukan hanya sekadar alat untuk menghukum atau mengatur, tetapi sebuah seni untuk membawa kebaikan dan memastikan keadilan ditegakkan. Misalnya, seorang Hakim tidak hanya menerapkan undang-undang secara tekstual, yakni membaca dan menerapkan pasal demi pasal secara literal. Hakim juga dituntut untuk memahami konteks sosial dan moral yang melingkupi sebuah perkara. Dapat disimpulkan, seorang Hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan yang ada di masyarakat, yang kerap kali tidak bisa sepenuhnya diwakili oleh bunyi aturan.

Dalam kasus pidana ringan seperti pencurian kecil yang dilakukan karena kebutuhan yang mendesak, jika menerapkan hukum hanya berdasarkan aturan yang tertulis besar kemungkinan pelaku akan mendapatkan hukuman berupa penjara sesuai dengan pasal yang berlaku. Namun, jika hakim melihat dari sudut pandang rasa keadilan masyarakat, keputusan yang lebih manusiawi seperti mediasi atau rehabilitasi dapat lebih diterima. Hal ini sejalan dengan adagium “Ius est ars boni et aequi,” di mana hukum dipraktikkan tidak hanya untuk menghukum tetapi juga untuk mengembalikan harmoni sosial dan melindungi martabat manusia. Pendekatan ini menegaskan bahwa seorang Hakim memiliki peran sebagai seniman keadilan. Hakim menggunakan intuisi, empati, kebijaksanaan, serta berbagai pertimbangan matang lainnya untuk memastikan hukum tidak hanya terlihat adil, tetapi juga dirasakan adil oleh semua pihak yang terlibat.

Dalam konteks modern, adagium ini tetaplah relevan. Sebagai contoh, diterapkannya keadilan restoratif di Indonesia pada beberapa kasus pidana ringan yang di mana menunjukkan bahwa hukum dapat mendamaikan pelaku, korban, dan masyarakat. Pendekatan ini bukan hanya menghukum pelaku, tetapi memperbaiki hubungan sosial yang rusak. Di era teknologi dan globalisasi ini, adagium ini menjadi pengingat bahwa hukum harus adaptif, tetapi tetap memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan. Ada masa dimana seorang Hakim mengikuti aturan Hukum yang telah ada guna memberi kepastian hukum bagi masyarakat, ada masa menyimpanginya, ada masa dituntut untuk memahami sendiri aturan yang telah ada, ada masa menciptakan aturan hukum yang belum ada.

Jadi seorang Hakim dalam memberikan pertimbangan hukum melihat dan menilai berbagai aspek keadilan. Mengadili sebuah perkara butuh keilmuan yang tidak hanya berdasarkan satu sisi pertimbangan. Seorang dokter misalnya, dalam mendiagnosa penyakit yang diderita oleh seorang pasien sebelum diberikan dosis obat yang tepat harus terlebih dahulu menganalisa berdasarkan teori yang pernah dipelajari atas gejala apa yang terlihat pada pasien tersebut.

Beda halnya dengan seorang Hakim. Kasus yang sama tidak mesti diputus berdasarkan hukum dan pertimbangan yang sama. Banyak hal yang menjadi pertimbangan dalam memutus perkara. Tidak semata-mata berdasarkan hukum tertulis yang ada, tetapi dituntut untuk menggali hukum yang tidak tertulis, misalnya adab dan budaya masyarakat setempat. Tugas berat ini sangat jelas tertera dalam pembukaan setiap putusan hukum yang dikeluarkannya “demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari frase ini saja sudah dapat dikatakan bahwa hakim adalah wakil Tuhan dalam menetapkan keadilan di dunia.

Setiap Hakim selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Terkadang ia tidak selalu bisa bertanya pada orang lain tentang kesulitan yang dihadapinya, oleh karena itu ia dituntut untuk mengasah kepekaaan nurani dan bekal ilmu pengetahuan yang memadai. Putusan yang dibuatnya bisa jadi menyembuhkan masyarakat namun bisa juga melemahkan dan mengecewakan. Untuk itu seorang Hakim diharapkan tidak hanya semata-mata mengadili, ia harus punya sensivitas sosial. ia harus paham kondisi dan situasi yang dialami zaman. Ia mempunyai kewajiban yang besar untuk membela mereka-mereka yang seringkali terpinggirkan dan tertindas. Namun yang tak kalah penting ialah Makna Hakim sebagai penyembuh atau “the judge as a healer” di mana Hakim tidak hanya berperan sebagai penegak hukum yang memberikan putusan berdasarkan aturan hukum yang berlaku dan berkeadilan, tetapi juga berupaya untuk memperbaiki hubungan sosial dan emosional antara para pihak yang berkonflik. Konsep ini berorientasi pada keadilan yang holistik, di mana Hakim menjadi sosok yang membantu menyembuhkan luka sosial dan emosional yang timbul akibat konflik hukum.

Perubahan paradigma yang terjadi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dari retributif menuju restoratif mendorong munculnya pendekatan yang lebih humanis dan berorientasi pada keadilan substantif. Hal ini memberikan kesempatan kepada para Hakim untuk dapat lebih aktif berperan dalam membantu mengurangi ketegangan emosional para pihak yang berperkara, mendorong mediasi, dan menciptakan ruang dialog yang konstruktif. Dengan pendekatan yang lebih humanis, Hakim dapat membantu mencegah dampak sosial yang lebih luas, seperti dendam, trauma, atau ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem peradilan.

Salah satu kualitas yang sangat penting dimiliki seorang Hakim sebagai penyembuh atau a healer adalah empati. Bagaimana perlakuan Hakim terhadap semua yang terlibat dalam ruang sidang, termasuk staf, pengacara, saksi serta pihak yang berperkara untuk menunjukkan adanya kepedulian yang lebih jauh terhadap kebutuhan manusia (memanusiakan manusia). Empati adalah elemen dasar dari semua penyembuhan. Empati yang dimiliki oleh seorang Hakim khususnya terhadap pihak yang berperkara, dapat ditunjukkan dengan beberapa cara. Seperti dengan memperhatikan kata-kata yang dipilih dan cara penyampaiannya pada saat persidangan, kemudian kemampuan untuk mendengarkan para pihak yang berperkara sehingga mereka merasa dihargai, gerak tubuh, proses atau keputusan Hakim yang sekali lagi menunjukkan bahwa orang lain memiliki nilai di mata pengadilan.

Saran ini tidak mengharuskan Hakim untuk mengabaikan prosedur beracara yang rigid, tetapi hanya menyarankan bahwa ketika tiba saatnya pihak berperkara berbicara Hakim berusaha mendengarkan. Seorang Hakim yang secara aktif mendengarkan akan menunjukkan sikap tenang dan penuh perhatian. Bagi sebagian orang, bersikap empatik adalah sesuatu yang naluriah dan alamiah. Bagi sebagian lainnya, keinginan untuk bekerja dari dasar ketidakpahaman mungkin membutuhkan upaya yang gigih untuk “menempatkan diri mereka diposisi orang lain.” Terakhir Maimonides pernah menulis: “Adalah kewajiban positif bagi hakim untuk mengatakan kepada para pihak di awal kasus, ‘Apakah Anda benar-benar ingin mengajukan kasus ini, atau tidakkah Anda lebih suka menyelesaikannya secara damai.” Hakim yang ideal adalah hakim yang tidak hanya memberi sanksi, tetapi juga membangun. Sebab pada akhirnya, seni dari Hakim terletak pada kemampuannya untuk merajut kebaikan dan keadilan dalam setiap putusannya.

Namun, dalam sistem pengadilan saat ini, tampaknya sulit bagi para hakim untuk menciptakan dan mempraktikkan peran sebagai penyembuh. Jumlah kasus yang sangat banyak dan rumit yang harus ditangani serta tekanan untuk mengikuti prosedur hukum yang cenderung menghilangkan nilai-nilai humanis. Namun, dengan adanya pergeseran paradigma sistem peradilan di Indonesia saat ini dari retributif menuju restoratif serta melalui perubahan sikap yang dilakukan secara sadar, baik secara individu maupun kolektif, Hakim tetap dapat mempertahankan dan menerapkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang dihargai oleh masyarakat. Dengan menjalankan peran sebagai penyembuh, Hakim dapat meningkatkan kualitas proses pengadilan sehingga memberikan kepuasan bagi semua pihak yang terlibat.

*Penulis adalah Calon Hakim PN Wonosobo dan Dandapala Contributor

Artikel/berita diatas pernah ditayang di website https://dandapala.com/ pada Jum’at, 04 Apr 2025 15:05 WIB

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.