Sambut Putaran Ketiga G20, KPK Gelar Webinar Peran Profesi Hukum Cegah TPPU
Jakarta |
Menjelang diselenggarakannya pertemuan Anti-Corruption Working Group (ACWG) dalam forum internasional G20 ke 3 pada tanggal 26 sampai dengan 29 September 2022 mendatang, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar webinar secara daring pada Selasa (20/9).
Webinar ini memfokuskan pendalaman salah satu isu prioritas yang akan dibahas di pertemuan tersebut, yaitu regulasi dan pengawasan profesi hukum dalam pencegahan tindak pidana pencucian uang hasil korupsi.
Mengangkat tema ’Peran Profesi Hukum dalam Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Korupsi’, narasumber dalam webinar ini adalah Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Ariawan Agustiartono, Wakil Ketua Majelis Pengawas Pusat Notaris (MPP) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Winanto Wiryomartani, perwakilan Ikatan Notaris Indonesia (INI) Taufik, serta praktisi hukum dan pegiat antikorupsi Nurkholis Hidayat.
Sebagai pembuka, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi KPK Kartika Handaruningrum menyoroti signifikannya peran praktisi dan profesi hukum dalam kasus korupsi.
“Profesi hukum kerap menjadi pihak kunci dalam perkara tindak pidana korupsi (Tipikor) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), karena perannya dalam membantu pelaku korupsi menyembunyikan hasil kejahatannya. Pemanfaatan jasa profesi hukum dalam suatu kejahatan pencucian uang dapat terjadi dengan disadari maupun tidak disadari oleh para profesional hukum,” kata Kartika dalam sambutannya.
Lebih jauh, Kartika mengatakan terdapat berbagai kasus saat profesi hukum secara aktif memberikan saran atas celah hukum, yang dapat dimanfaatkan koruptor agar tindak pidana pencucian uang sulit dideteksi.
“Hal itu menyebabkan profesi hukum menjadi rentan terlibat dalam skema pencucian uang hasil korupsi. Baik perbuatan ini disadari maupun tidak disadari oleh Notaris, perannya dalam memuluskan TPPU harus dicegah,” pungkasnya.
Sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Ariawan Agustiartono memberikan contoh nyata yang terjadi saat ini, banyak para profesional hukum memfasilitasi kejahatan kliennya dengan membantu perlindungan aset.
”Sebut saja kasus Panama Papers atau Paradise Papers beberapa tahun lalu,” kata Ariawan. MEnurutnya Profesional hukum yang terlibat adalah pengacara-pengacara ternama dan para notaris yang melindungi kliennya dengan terlibat praktik tindak pidana pencucian uang.
“Mereka dengan mudahnya mengakses bantuan perlindungan aset, dicarikan bank yang tidak perlu mensyaratkan beneficial ownernya siapa,” imbuhnya.
Risiko serta Kode Etik Profesi Notaris dan Pengacara
Sementara Wakil Ketua MPP Notaris Kemenkumham RI Winanto Wiryomartani mengatakan, profesi Notaris juga rawan terlibat dalam praktik tindak pidana pencucian uang.
Oleh karena itu, Winanto kembali mengingatkan sejumlah kewajiban notaris dalam menjalankan jabatannya sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Menurutnya terdapat mekanisme pengawasan yang dapat dilakukan untuk mengawasi, mengatur perihal pencegahan praktik TPPU oleh notaris. Pertama, notaris terikat dengan sumpah jabatan, notaris tidak hanya terikat dengan undang-undang jabatan notaris, tapi juga terikat dengan Undang-Undang (UU) TPPU dan UU lainnya.
”Jika notaris menemukan adanya transaksi yang mencurigakan dari klien, dapat melaporkannya secara elektronik melalui Go-AML kepada PPATK,” ungkapnya.
Winanto menambahkan, notaris juga berhak menolak permintaan klien jika pembuatan akte bertentangan dengan Undang-Undang. ”Hal tersebut diatur dalam Pasal 16 huruf e tentang UU Jabatan Notaris No. 30 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU 2 tahun 2014,” tandasnya.
Taufik dari INI juga menambahkan, terdapat payung hukum terhadap notaris dalam melaksanakan jabatannya, yaitu dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 9 Tahun 2017 mengenai Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ).
Kemudian, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2015 yang menyatakan Notaris sebagai salah satu pelapor dalam TPPU.
“Dengan payung hukum ini, notaris harus tahu kapan menyerahkan PMPJ dan Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM) ke PPATK. Karena pekerjaan notaris sendiri bukan untuk mewakili orang lain melainkan mewakili negara dengan memberikan alat bukti yang diperlukan,” ujar Taufik.
Terakhir, praktisi hukum dan pegiat antikorupsi Nurkholis Hidayat mengingatkan kepada para pengacara agar terhindar dari turut serta praktik pencucian uang, dengan melakukan uji tuntas (due diligence) kepada kliennya.
Saat ini, kata Nurkholis, masih banyak firma hukum yang memberikan layanan suaka bagi mereka yang ingin manajemen risiko aset.
“Misal difasilitasi dalam layanan praktik penghindaran pajak, ya dilakukan oleh konsultan pajak alias pengacara juga,” ujarnya.
Menurut Nurkholis, diangkatnya isu Kerangka Hukum dan Supervisi Profesi Hukum dalam Pencegahan Korupsi dan Pencucian Uang adalah momentum yang tepat untuk membatasi dan memetakan risiko jabatan para profesional hukum.
Sebab, sambungnya, hambatan terbesar yang dijalani oleh pengacara sendiri adalah hubungan yang sakral dan berakar kepada kliennya atas pemberian jasa hukum.
Nurkholis Hidayat berharap dengan diusungnya isu ini dalam G20 ACWG-KPK, para profesional hukum dapat menemukan sebuah formulasi untuk keseimbangan peran kewajiban jabatan mereka terhadap klien.
“Semoga pembahasan dalam isu ini melahirkan aturan turunan yang pasti, sehingga mereka (profesional hukum) ini paham apa saja yang dapat melanggar kode etiknya,” pungkasnya.
Berita: Gate 13 | Foto: Ist.