Perbedaan Pidana Mati KUHP Nomor 1 Tahun 1946 dengan KUHP Nomor 1 Tahun 2023
Oleh DR. (C) Imam Mahmudimy, S.H.,S.Ag.,M.M.,M.H.*
Asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang (UU) Republik Indonesia (RI) Nomor 1 Tahun 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang berlaku (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali).
Hal ini menegaskan bahwa seseorang tidak dapat dijatuhi pidana jika tindakannya belum memiliki dasar hukum yang mengikat.
Dengan diberlakukannya KUHP Nomor 1 Tahun 2023, terdapat perbedaan dalam pengaturan asas legalitas, khususnya terkait pelaksanaan pidana mati.
Kajian ini dilakukan secara yuridis normatif dengan menggunakan dua pendekatan:
- Pendekatan Peraturan (Statute Approach)
Pendekatan ini menelaah peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mengidentifikasi perubahan atau perbedaan pengaturan antara KUHP Nomor 1 Tahun 1946 dan KUHP Nomor 1 Tahun 2023. - Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan ini menganalisis konsep, doktrin, dan asas hukum yang melandasi perubahan hukum, termasuk perkembangan pandangan hukum terkait pidana mati.
Melalui kedua pendekatan tersebut, dapat dilihat adanya perbedaan signifikan antara KUHP Nomor 1 Tahun 1946 dan KUHP Nomor 1 Tahun 2023, khususnya dalam hal kebijakan pidana mati.
Beberapa ketentuan hukum pidana Indonesia mengatur tentang hukuman mati, termasuk yang terdapat di KUHP. Hukuman mati sendiri mengakibatkan pro dan kontra, tetapi Indonesia sendiri tetap memberlakukan tindak pidana mati.
KUHP Nomor 1 Tahun 2003 yang memasukkan tindak pidana mati, meskipun sifatnya berbeda dengan yang berada di dalam KUHP lama pidana mati pada dasarnya bersifat sebagai pidana pokok, KUHP baru merupakan pidana khusus atau pidana alternatif.
Konsep pidana mati tetap dipertahankan dalam KUHP baru, namun dalam konsep sebagai pidana khusus atau sebagai alternatif atau sebagai upaya terakhir. Dalam artian hukum pidana yang baru sebisa mungkin ‘menghindari’ hukuman pidana mati.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan hukuman pidana mati, perbandingan pelaksanaan pidana mati yang ada dalam KUHP 1946 dengan KUHP yang baru yaitu nomor 1 tahun 2003.
Perbedaan di dalam KUHP lama dan KUHP baru terhadap hukuman mati, jika pada KUHP lama, hukuman mati masuk dalam jenis pidana pokok hukuman mati dapat dijatuhkan dalam kasus pembunuhan dengan berat hukuman maksimal di atas 7 tahun penjara.
Sedangkan dalam KUHP baru, hukuman mati hanya dapat dijatuhkan dalam kasus pembunuhan yang dianggap ‘sangat berat’ seperti pembunuhan terhadap pejabat negara atau orang yang rentan.
Pembunuhan berencana dalam perspektif KUHP lama delik pembunuhan yang direncanakan terdapat dalam Pasal 340 KUHP.
Sedangkan, KUHP Nomor 1 Tahun 2023, pidana mati tergolong ke dalam pidana bersifat khusus yang menjadi alternatif. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 67 KUHP Nomor 1 Tahun 2023, yakni “Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif”.
Menurut hukuman pidana yang baru, terpidana memiliki kesempatan selain grasi, peninjauan kembali dan banding, agar tidak segera ditembak mati, yakni adanya masa percobaan selama 10 tahun pada sanksi pidana mati (selama waktu yang ditentukan), sesuai dengan ketentuan Pasal 100 ayat (1) KUHP Nomor 1 Tahun 2023 yang berbunyi: “Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika:
a. terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki.
b. peran terakwa dalam tindak pidana tidak terlalu penting.
c. ada alasan yang meringankan.
Kemudian, hal yang berbeda adalah jika selama 10 tahun pelaksanaannya pidana mati jika tidak dilaksanakan dan presiden menolak grasinya, bukan dikarenakan menghilangkan jejak, maka pelaksanaannya dengan Keputusan Presiden dapat digantikan dengan pidana lain yakni pidana seumur hidup. Hal ini terdapat di dalam Pasal 101 KUHP Nomor 1 Tahun 2023.
Dalam KUHP baru pidana mati tidak lagi dimasukkan dalam kelompok pidana pokok, melainkan sebagai pidana khusus (eksepsional). Pasal 100 KUHP baru menyatakan bahwa pidana mati juga bersifat alternatif.
KUHP baru memberikan masa percobaan 10 tahun bagi terpidana untuk berbuat baik di penjara. Alasan mendasar ialah meyakini bahwa terpidana mati masih memiliki kesempatan untuk berubah dan memperbaiki diri dari kesalahan yang terpidana lakukan.
Masa percobaan tersebut harus dicantumkan pada saat putusan pengadilan. Lama waktu masa percobaan sepuluh tahun terhitung sejak satu hari setelah putusan inkracht. Maka, jika terpidana menujukan sikap terpuji, kepadanya pidana mati dapat diubah atau non retroaktif.
Demikian semoga bermanfaat review singkat dari saya mengenai perbedaan KUHP Nomor 1 Tahun 1946 dengan KUHP Nomor 1 Tahun 2023. Semoga membawa manfaat untuk kita semua.
*Penulis adalah Ketua Umum DPN PERAJANUSA.