Pengawas Pemilu Harus Tetap Cermat Tangani Laporan Pelanggaran
Jakarta |
Koordinator Divisi Penindakan Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo mengingatkan, bahwa pengawas pemilu untuk tetap cermat dalam menentukan suatu laporan sebagai pelanggaran pemilu atau bukan.
Pasalnya, menurut Dewi, tekanan dari pihak pelapor agar laporannya ditindaklanjuti dan dinyatakan terbukti besar.
“Yang penting mereka (pelapor) melaporkan (dugaan pelanggaran) dan harus terbukti bersalah,” ujar Dewi kepada jajaran pengawas pemilu kabupaten/kota dalam Rapat Kerja Teknis Penanganan Pelanggaran Pemilu Tahun 2019 Gelombang IV di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (25/10).
Sering kali, sambungnya, pelapor tidak berpikir apakah peristiwa yang dilaporkan adalah pelanggaran pemilu atau bukan.
Dijelaskan oleh Dewi, tekanan publik ini seringkali membuat pengawas pemilu salah mengambil tindakan dalam penanganan pelanggaran pemilu.
“Kalau mental tidak kuat, maka itu akan berpotensi mempengaruhi pengawas pemilu bekerja yang tidak sesuai dengan tata cara dan standar prosedur sudah diatur dalam Perbawaslu Nomor 7 Tahun 2018 tentang Penanganan Temuan dan Laporan dan Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penanganan Pelanggaran Administrasi,” terang Ratna dikutip laman bawaslu.go.id, Sabtu (27/10).
Ditambahkannya, ini harus menjadi perhatian secara berjenjang, provinsi harus bisa melakukan pemantauan terhadap penanganan pelanggaran yang sedang ditangani oleh Bawaslu kabupaten/kota, karena semakin ke bawah tingkat kemampuan menolak intervensi itu semakin melemah.
“Harus kita pahami, tidak semua aktivitas yang dilakukan oleh peserta pemilu bisa terindikasi sebagai pelanggaran, kita harus cermat,” kata Dewi.
Dewi mencontohkan kegiatan kampanye dilokasi fasilitas pendidikan, yang dilarang sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pasal 280 (1h).
Namun, jika dalam fasilitas pendidikan tersebut, ada salah satu fasilitas yang selama ini khusus disewakan sebagai sumber pendapatan oleh tempat pendidikan tersebut. Apakah itu dibolehkan atau tidak.
“Dalam banyak praktek yang selama ini banyak terjadi dan pemahaman hukum kita, harusnya itu diperbolehkan jika ada dokumen kontrak sewa menyewa,” terangnya.
Menanggapi adanya indikasi perbuatan pejabat daerah yang secara terbuka menyatakan dukungan kepada pasangan calon tertentu, dinilai oleh Dewi sangat tidak etis.
Ditegaskannya, bahwa kepala daerah merupakan simbol dari pemerintahan daerah yang harus melakukan pelayanan kepada seluruh masyarakat yang ada didaerah tersebut.
“Dikhawatirkan itu ‘kode’ kepada pemilih di daerah tersebut, atau bentuk intervensi dan tekanan secara implisit kepada pemilih untuk memilih calon tertentu,” tukasnya.
Berita: Sigit | Foto: Istimewa