Pemerintah dan DPR Bahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Jakarta |
Pemerintah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) RI sepakat membahas Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Pembahasan RUU PKS yang diinisiasi oleh DPR RI disampaikan Menteri PPPA Yohana Yembise dalam Rapat Komisi VIII DPR RI terkait pembahasan pertama RUU PKS.
Dalam pendapat dan pandangan Pemerintah, Yohana menyampaikan pemerintah setuju dengan DPR RI yang mengusulkan RUU PKS, walaupun Pemerintah memiliki beberapa perbedaan pendapat.
Menteri PPPA Yohana Yembise membeberkan beberapa perbedaan pendapat antara Pemerintah dengan DPR dalam pembahasan RUU PKS. Pertama, dari 152 pasal Rancangan Undang-undang yang diusulkan oleh DPR yang menurut Pemerintah hanya diatur dalam 50 pasal saja.
“Karena materi yang bersifat teknis akan diatur dalam Peraturan Presiden tentang Kebijakan Nasional Pencegahan Kekerasan Seksual dan beberapa pasal harus dihapus karena sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan,” ujar Yohana September lalu.
Kedua, menurut Yohana kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan dan anak, namun dapat terjadi pada orang dewasa laki-laki, seperti kekerasan seksual menyimpang.
Sedangkan yang ketiga, pemerintah tidak ingin membentuk lembaga baru di daerah dengan membentuk Pusat Pelayanan Terpadu karena ingin mengurangi pembentukan lembaga di daerah.
“Terakhir, perlu dipahami bersama bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan siapa saja,“ sebut Menteri Yohana.
Oleh karena itu, Yohana beranggapan upaya pencegahannya tidak perlu dibatasi pada bidang tertentu. “Seperti bidang pendidikan, infrastruktur, pelayanan publik dan tata ruang, pemerintahan, dan tata kelola kelembagaan, ekonomi, sosial, dan budaya,” paparnya.
Sebelumnya, pihak Komisi VIII DPR RI, yang diwakili oleh Ketua Komisi VIII M Ali Taher menyampaikan pandangannya, bahwa RUU PKS diharapkan dapat menjawab persoalan yuridis dan menjadi payung hukum yang mampu memberikan kejelasan dan kepastian hukum.
“Karena peraturan perundang-undangan yang sudah ada, dirasakan belum sepenuhnya mampu merespon fakta kasus kekerasan seksual,” ujarnya.
Berita: Mh | Foto: Istimewa/Ilustrasi