Memilih Rektor Asing
BEBERAPA hari ini dunia pendidikan tinggi masih ‘kaget’ dengan gagasan maju Menristekdikti yang akan mengangkat Rektor Warga Negara Asing (RA) dengan tujuan menaikan ranking universitas dalam World Classc University (WCU). Pasalnya, terkait kebijakan ini selain belum disosialisasikan, dihadapkan pada kebathinan ‘kekhawatiran’ dan peraturan perundang-undangan yang belum adaptif terhadap RA.
Pengangkatan RA saat ini setidaknya akan melalui 2 tahap:
(1) Tahapan pemilihan rektor. Menurut statuta, pemilihan rektor akan diawali calon dengan melengkapi segenap persyaratan. Ini tentu tidak mudah dipenuhi oleh ‘calon warga negara asing’. Khususnya persyaratan intern universitas, seperti, antara lain: a) beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, b) memiliki pengalaman manajerial di universitas setempat, c) bersedia untuk memenuhi kewajiban sebagai rektor dan tunduk pada perundang-undangan yang berlaku, d) PNS/ASN (untuk Universitas Negeri) dengan paling rendah sebagai pejabat tinggi pratama (eselon II.a.), dan d) telah membuat dan menyerahkan LHKPN ke KPK. Atau lainnya, yang persyaratan itu hanya bisa dipenuhi oleh warga negara, atau paling tidak pemilik permanent residence (ITAP/ijin tinggal tetap).
(2) Proses ketenagakerjaan dan keimigrasian. Proses ini harus dilalui terlebih dahulu. Dimana bagi seorang WNA dengan status ‘calon rektor’ tentu belum bisa diberikan ijin tinggal. Sehingga harus ada satu tahapan pengabdian terlebih dahulu sebagai staf pengajar di Perguruan Tinggi (PT) yang dituju untuk mendapatkan sponsor permohonan ijin tinggal di tanah air.
Pendeknya, bisa tidaknya kebijakan ‘pengangkatan RA’ dilaksanakan tergantung kehendak PT yang dituju. Dan terkait PTN, Kementistekdikti hanyalah memiliki kekuatan kebijakan 35% pada waktu pemilihan rektor.
Merujuk hal di atas, maka saat ini pengangkatan RA hanya dapat dilakukan terhadap PT baru yang sejak awal memang direncanakan mendudukan Warga Negara Asing sebagai Rektor.
Pembangunan SDM melalui PT seharusnya dirancang secara top down, artinya ada suatu ‘Dewan Pendidikan Tinggi’ yang merumuskan dan merancang pembangunan PT secara terstruktur, tahunan, lima tahunan menuju Indonesia Emas, 2045. Sehingga segenap kebijakan memang sudah masuk rencana pembangunan itu. Dan jika ada kebijakan diluar renstra tetap dalam arah dan tujuan kebangsaan, yakni meningkatkan daya saing dan menumbuhkan kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan. Untuk itu mewujudkan sejumlah PT masuk ranking WCU yang baik tentu bukan sasaran utama.
Namun demikian, jika kebijakan itu tujuannya memang hanya untuk mengejar ranking WCU, maka yang diperlukan tentu bukan RA. Tetapi yang lebih tepat adalah ‘konsultan pendidikan’. Dalam hal ini akan sangat kuat jika diambil dari mereka (pihak) yang aktif menyusun ranking WCU tersebut. Dimana pilihan dapat diambil dari The Times Higher Education Supplement (THES) yang berkantor di London, atau Academic Ranking of World University (ARWU) yang berkantor di Sanghai, atau Rangking Web of University (Webometrics). Pilihan konsultan, karena merupakan ‘tim profesional” yang banyak waktu dan tidak terhambat oleh berbagai persyaratan dan aturan perundang-undangan. Sedangkan RA terhambat oleh persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga sulit bergerak, dan tidak bisa bekerja sendirian.
Selanjutnya, kedepan Kemenristekdikti tinggal menyesuaikan Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi (SPMPT) dengan standar ‘lembaga pembuat ranking’ universitas dunia itu. Terutama tapi tidak terbatas, jika masih ada beban non-akademis terhadap para dosen wajib dihapus. Dengan demikian dosen akan lebih produktif untuk pangajaran, dan penelitian untuk menghasilkan inovasi dan jurnal ilmiah.
Kolier Haryanto
Seminyak, 3 Agustus 2019