Memilih Langkah Menghentikan Penyebaran COVID-19
Oleh: Kolier Haryanto
Sejak Corona Virus Disease (Covid-19) menyerang penduduk Wuhan, Tiongkok dilaporkan ke World Health Organization (WHO) pada Desember 2019, hingga saat ini telah terdata 662.073 kasus di 200 negara dan 139.426 dinyatakan sembuh. Dari pengalaman negara yang berhasil menangani penyebaran Covid-19 itu umumnya adalah negara yang berdisiplin menjaga jarak dan menggunakan masker serta sering mencuci tangan dengan sabun (desinfektan) secara bersih. Oleh karena itu, jika masyarakat tidak diberikan kemudahan akses untuk mendapatkan (gratis) masker dan sabun yang bestandar serta tidak berdisiplin menjaga jarak, maka penyebaran masih memiliki potensi.
Seiring dengan itu kita tidak memiliki informasi yang sama dari para ahli terkait model penyebaran Covid-19 melalui droplets atau juga airborne. Apabila hanya melalui droplets, maka physical distancing dengan menggunakan masker dan rajin mencuci tangan dengan sabun akan sangat efektif untuk mencegah penyebarannya. Namun jika penyebarannya juga bisa melalui airborne, maka physical distancing dengan menggunakan masker dan mencuci tangan dengan sabun menjadi tidak cukup, artinya kita harus menyemprotkan desinfektan yang ampuh di area terbuka dimanapun yang memiliki potensi terjadinya penyebaran, dan hal ini tentu tidak mudah. Selain itu juga beredar informasi, pasien dalam pengawasan (PDP) di rumah sakit tertentu semuanya sembuh, sementara di tempat lain tidak ada yang tersembuhkan.
Dalam hal itu maka tidak boleh dibiarkan terjadinya misleading information dalam penanganan penyebaran Covid-19 ini agar tidak mengakibatkan kesalahan dalam membuat kebijakan. Untuk itu selain berbagai kebijakan yang telah dilakukan selama ini, membentuk Gugus Peneliti (Researchers) di pusat maupun provinsi dengan anggaran maksimal memiliki urgensi yang tinggi. Para peneliti ini harus segera melakukan “penelitian cepat,” khususnya untuk memastikan: (1) model penyebaran (droplets atau juga airborne), (2) akan mati di musim panas, ataukah bertransformasi, (3) jenis pelindung apa (masker, sabun, sanitizer) yang paling ampuh; dan mengembangkan (4) vaksin atau obat yang dapat memberikan ketahanan tubuh; serta (5) obat untuk treatment penyembuhan. Para peneliti inilah yang akan menjadi sumber informasi terpercaya, yang sekaligus menjadi “garda terdepan” untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan mencegah kematian. Sejalan dengan ini maka kebijakan pencegahan penyebaran Covid-19 ini nantinya tidak hanya didasarkan pada asumsi, atau sekedar “imitasi” model kebijakan dari negara lain yang belum tentu tepat diterapkan, tetapi memiliki dasar ilmiah yang kuat.
Selanjutnya kepada para peneliti ini perlu dibuatkan aturan untuk memberikan perlindungan atau memberikan kekebalan hukum (immunity), karena menggunakan prosedur ilmiah yang dipersingkat dalam upayanya untuk menemukan formula, treatment dan obat (vaksin) dalam mencegah, menyembuhkan dan memberantas Covid-19. Dalam hal ini jika perlu dibuatkan payung hukumnya, karena salah satu alasan pemaaf dalam hukum pidana adalah melaksanakan Undang-Undang. Mengingat terbatasnya waktu yang paling memungkinkan adalah dibentuknya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), yang menghapus beberapa norma yang diatur dalam KUHP, dan beberapa UU sektoral, seperti Undang-Undang Kesehatan. PERPU ini nantinya jika menjadi Undang-Undang juga dapat menguatkan amanah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya terkait Pasal 36 ayat (2), “Dalam menjamin ketersediaan obat dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang berkasiat obat”, dan Pasal 40 ayat (4) dan (5), yang pada pokoknya “Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan perbekalan kesehatan dilakukan dengan mengadakan pengecualian terhadap ketentuan paten sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur paten. Selain itu PERPU ini nantinya juga dapat disusun untuk memperkuat Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Kekarantinaan Kesehatan, dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2019 tentang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Kebijakan lockdown atau karantina wilayah mungkin saja bisa menjadi pilihan yang tepat saat ini. Namun kebijakan ini terkait sangat erat dengan berbagai persoalan sosial-ekonomi masyarakat yang akan menjalani, khususnya terhadap mereka yang kurang beruntung yang perlu mendapat perhatian. Sejalan dengan ini juga terhadap pekerja sektor informal dan swasta (private) yang akan menjadi pengangguran karena berhenti usaha atau di PHK massal yang berkejaran dengan waktu karena terhentinya akativitas ekonomi dunia usaha. Catatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan para ahli bahwa, kemampuan bertahan para pengusaha untuk dapat tetap memenuhi hak karyawan (gaji, tunjangan dan insentif lainnya) yang work from home (WFH) hanya sampai pada bulan Juni 2020.
Merujuk pada catatan itu, maka mengambil kebijakan lockdown atau karantina wilayah tentu bukanlah sesuatu yang mudah, karena harus memikirkan transaksi sosial dan keuangan masyarakat. Di mana dalam melaksanakan kebijakan lockdown atau karantina wilayah ternyata diperlukan dana yang sangat besar, kecukupan logistik (9 bahan pokok, masker, sabun/sanitizer), SDM yang banyak untuk mendistribusikan logistik sampai ke masyarakat, perhatian khusus terhadap masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah slum, keringanan membayar tanggungan bulanan, jaminan penundaan pembayaran angsuran, keamanan dan ketertiban, kerawanan sosial, dan tentu masih banyak masalah lain yang beriringan. Terhadap situasi ini maka kemampuan dan kecepatan mengambil keputusan yang tepat, serta kesejukan dalam berkomunikasi para pemimpin (publik, private dan informal) bisa menjadi separo dari obat mujarab dalam pencegahan penyebaran Covid-19. Setengah dari separo obat mujarab itu adalah kesadaran yang tinggi untuk mengikuti protocol pencegahan dan gotong royong masyarakat, dan sisa seperempatnya adalah tindakan medis.
Selanjutnya apabila berbagai langkah dan kebijakan itu dapat berjalan dengan baik, pada gilirannya dapat dijadikan alas ilmiah dalam hitung statistik untuk membuat kurva jumlah terpapar dan penyebarannya serta kapan akan berakhir pandemik ini. Adanya berbagai prediksi ilmiah dari berbagai institusi yang telah terpublikasi tentu juga memiliki asumsi atau dasar-dasar yang kuat, tetapi perbedaannya sangat tajam, sehingga jika ada kebenaran dari satu institusi maka institusi-institusi yang lain tidak benar atau salah memprediksi.
Untuk itu agar para ahli memiliki simpulan prediksi yang sama atau hampir sama, maka kita harus melihat terlebih dahulu keberhasilan Gugus Peneliti yang ditugaskan untuk menemukan formula penghentian penyebaran, obat (vaksin) dan treatment penyembuhan dari serangan Covid-19. Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa memudahkan jalannya. (Mason Pine, 08042020)