CIFOR Apresiasi Keberhasilan Perbaikan Tata Kelola Hutan Indonesia
Jakarta |
Direktur Jenderal Center for International Forestry Research (CIFOR) Robert Nasi mengemukakan, bahwa Periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi diapresiasi sebagai periode keberhasilan dalam perbaikan tata kelola hutan di Indonesia.
Apresiasi tersebut disampaikan Robert Nasi saat diskusi kebijakan kehutanan yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Bogor, Jawa Barat, Jumat (30/8).
“Kemajuan luar biasa telah dicapai sehubungan dengan tata kelola hutan dan kebijakan di Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Untuk saat ini Presiden dan pemerintahannya harus diberi selamat,” sebut Nasi, menjawab secara tertulis sebagai tanggapan atas beberapa pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Kekaguman tersebut dinyatakan oleh Nasi, karena menurutnya dapat disimpulkan selama lima tahun pemerintahan Presiden Jokowi dan di bawah Menteri LHK Siti Nurbaya banyak pencapaian yang diraih untuk masa depan hutan Indonesia.
“Lebih banyak yang telah dicapai untuk masa depan hutan Indonesia daripada pencapaian oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya sejak negara itu merdeka pada 17 Agustus 1945,” tegasnya.
Daftar pencapaian luar biasa yang dibuat selama lima tahun terakhir tersebut adalah Pembentukan Badan Restorasi Gambut pada tanggal 6 Januari 2016 serta upaya yang kuat untuk mengurangi terjadinya kebakaran di lahan gambut setelah terjadinya kebakaran hebat tahun 2015.
Lalu pada awal 25 Oktober 2016 dimulai sebuah program kehutanan sosial yang ambisius membagikan hak penggunaan lahan hutan dengan target lebih dari 12,7 juta hektar hutan untuk masyarakat lokal.
Selanjutnya pada 15 November 2016 Indonesia menjadi negara pertama yang mengeluarkan lisensi FLEGT untuk memverifikasi produk kayu legal Indonesia yang diekspor ke UE yang berimbas pada 12 bulan berikutnya, Indonesia mengeluarkan lebih dari 39.000 lisensi untuk pengiriman ekspor ke semua negara anggota UE (28 negara), dengan total nilai lebih dari satu miliar euro.
Berikutnya diumumkannya moratorium penerbitan konsesi baru perkebunan kelapa sawit untuk tiga tahun kedepan pada tanggal 19 September 2018.
Kemudian pada bulan Februari 2019, Norwegia mengumumkan bahwa berkat pengurangan deforestasi yang dicapai antara 2016 dan 2017, Norwegia akan merilis pembayaran pertama berbasis hasil ke Indonesia sebagai bagian dari perjanjian REDD + kedua negara yang didirikan pada 2010.
Lantas Moratorium hutan yang dimulai sejak 2011 tentang penundaan pemberian ijin konsesi baru di kawasan hutan primer dan lahan gambut, pada tanggal 5 Agustus 2019 telah diubah menjadi larangan permanen pada pemberian ijin konsesi baru di hutan primer dan lahan gambut (utuh atau terdegradasi).
Di dalam peta moratorium permanen tersebut terdapat luasan areal terlarang untuk pemberian ijin konsesi baru seluas sekitar 66 juta hektar.
Yang terakhir dua inisiatif yurisdiksi REDD +, di KalTim (FCPF) dan Jambi (BioCarbonFund), akan dilaksanakan di lapangan dalam beberapa bulan kedepan, hal ini akan menghasilkan penghentian pelepasan lebih dari 40 juta ton emisi CO2 ke atmosfer yang setara dengan komitmen pembayaran sekitar $ 110 juta dari perjanjian REDD + antara Indonesia dan Norwegia.
Pada diskusi tersebut dijelaskan pula oleh Kepala Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi KLHK Agus Justianto, bahwa selain mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, Indonesia tetap fokus pada implementasi program kehutanan sosial dan reformasi lahan untuk masyarakat lokal.
Sejalan dengan itu Direktur Inventarisasi dan Pengawasan Sumber Daya Hutan KLHK Belinda Arunawati Margono menunjukkan bahwa Instruksi Presiden Jokowi untuk melakukan moratorium hutan primer dan lahan gambut secara permanen yang luasnya lebih luas daripada Perancis.
“Hal itu terbukti sangat penting, karena secara signifikan telah mengurangi angka deforestasi Indonesia,” tutur Arunawati, yang juga menjadi narasumber diskusi.
Namun kendati demikian, Dirjen CIFOR Robert Nasi itu menyatakan jika pencapaian luar biasa tersebut situasinya belum sempurna dan masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Hal yang dimaksud Nasi antara lain terutama dalam hal pemetaan, pemantauan, transparansi, dan implementasi di lapangan.
“Indonesia adalah negara kepulauan yang luas dan terdesentralisasi dimana keputusan presiden atau keputusan yang diambil di Jakarta membutuhkan waktu untuk meresap ke daerah-daerah terpencil,” jelas Nasi.
Diharapkan oleh Nasi, dengan terpilihnya kembali Presiden Jokowi baru-baru ini, arah pengelolan hutan saat ini akan dipertahankan dan difokuskan untuk terus menjaga ekosistem hutan Indonesia yang berharga.
“Serta untuk memberikan manfaat dari keanekaragaman hayati dan iklimnya bagi dunia dan juga dalam rangka meningkat kesejahteraan bagi warganya,” tutupnya.
Berita: Mh | Foto: Istimewa/Ilustrasi