Peristiwa

Pelaku Kekerasan Perempuan dan Anak Jangan Dilindungi, Beri Hukuman Maksimal

Banda Aceh |
Pembina Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP2P2A) Provinsi Aceh Darwati A Gani meminta penegak hukum menindak tegas pelaku kekerasan atas perempuan dan anak.

Menurut Darwati, tindakan para pelaku tersebut dapat mengakibatkan dampak traumatik yang panjang terhadap para korban.

“Dengan demikian kasus seperti ini tidak terjadi lagi,” ujar Darwati dalam ekspos kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak bertema  ‘Pelaku jangan dilindungi. Berikan hukuman yang maksimal’, di Pendapa Gubernur Aceh, di Banda Aceh, Selasa (13/3).

Ditegaskan Darwati, para korban merupakan tokoh yang harus diutamakan. Karena jika kondisi traumatik korban tidak hilang, dikhawatirkan justru korban yang nantinya bisa menjadi pelaku.

“Apalagi, selama ini banyak kasus yang menimpa perempuan dan anak dilakukan oleh orang terdekat,” ujarnya.

Jika proses hukum terlalu cepat selesai, sebut Darwati, korban tidak pulih dan kembali berjumpa pelaku maka korban akan kembali trauma. “Ketakutan ketika berjumpa tidak pernah hilang,” jelasnya.

Pembina BP2P2A Provinsi Aceh itu memaparkan,kekerasan atas perempuan dan anak di Aceh, dari tahun ke tahun diketahui terus meningkat. Menurutnya, terbanyak adalah kasus kekerasan fisik dan seksual.

“Padahal dalam Undang-undang jelas diatur, ada pasal yang mewajibkan untuk melindungi keduanya,” tuturnya.

Darwati mengatakan, fenomena kekerasan atas perempuan dan anak ibarat gunung es, di atas terlihat sedikit, padahal di bawah permukaan telah menggunung. Dalam catatan BP2TP2A Aceh, tercatat hanya ada 1.791 kasus kekerasan atas perempuan dan anak di tahun 2017.

Sedangkan menurut paparan Wakil Ketua Mahkamah Syariah Aceh Rosmawardani, kasus yang pernah ditangani pihaknya mencapai 11 ribu lebih per tahunnya. “Kasus terbanyak adalah perempuan yang menggugat cerai suaminya akibat kekerasan yang mereka alami,” sebutnya.

Rosmawardani menambahkan, angka tersebut lebih tinggi dari Provinsi Sumatera Utara yang jumlah penduduknya 2 kali lebih banyak dari Provinsi Aceh.

“Di Sumatera Utara 10 ribu kasus dari 10 juta. Sementara di Aceh, ada 11 ribu kasus dari jumlah penduduk yang hanya 4,5 juta,” paparnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Nevi Aliani mengatakan, kasus kekerasan yang tercatat di dinasnya terus meningkat.

“Tahun 2015, ada 939 kasus yang tercatat dan meningkat menjadi 1.648 di tahun 2016. Setahun berselang angka itu kembali naik ke angka 1.791,” ungkapnya.

Namun kendati demikian, Nevi yakin jika angka itu masih sangat sedikit, karena banyaknya korban yang enggan melapor. “Biasanya kasus ini dilakukan orang terdekat, sehingga korban tabu untuk melaporkannya,” imbuhnya.

Berita: Machfud | Foto: Istimewa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.