HukumPeristiwa

Jampidum Setujui 14 dari 15 Pengajuan Restorative Justice

Denpasar |
Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana menyetujui sebanyak 14 dari 15 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan restorative justice atau keadilan restoratif.

Hal itu disampaikan dalam ekspose yang dilakukan secara virtual dan dihadiri oleh Jampidum Fadil Zumhana, Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda (Dir TP Oharda) Agnes Triani, Koordinator pada Jampidum, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) yang mengajukan permohonan restorative justice serta Kasubdit dan Kasi Wilayah di Direktorat TP Oharda.

Dalam ekspose ini, Jampidum Fadil Zumhana mengingatkan agar kualitas proses pengajuan restorative justice terjaga nilai integritasnya.

”Kita tidak ingin produk restorative justice disalahgunakan dan saya memerintahkan kepada para Kajari untuk mengontrol proses pengajuan restorative justice tersebut,” ujarnya.

Selanjutnya, Jampidum Fadil Zumhana memerintahkan kepada para Kajari untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif.

”Sesuai Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkasnya.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Ketut Sumedana dalam siaran persnya, Selasa (5/4), menyampaikan, bahwa 14 berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif diantaranya karena para tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana atau belum pernah dihukum.

”Kemudian ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun, dan telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf,” ujarnya.

Selain itu, sambung Ketut Sumedana, tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya dan proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi.

Dirinya juga menambahkan, tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar. Disamping juga pertimbangan sosiologis, serta masyarakat merespon positif.

Kapuspenkum Ketut Sumedana menjelaskan alasan lain pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, salah satunya dalam perkara tersangka AEK yang merupakan tulang punggung keluarga.

”Tersangka baru diberhentikan dari pekerjaannya sehingga tidak memiliki pendapatan tetap, pemulihan pada keadaan semula,” imbuhnya.

Berita: Gate 13 | Foto: Ist.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.