Sang Ideolog (Bag. 2 Tamat)
Lagu “Judi” di tahun 1988 itu wujud kegeraman Rhoma kepada pemerintah yang seolah melegalkan “Porkas” kepanjangan dari Pekan Olahraga dan Ketangkasan, kupon undian yang dibalut undang-undang dan keputusan menteri yang sebenarnya bermuatan judi.
Pemerintah sepertinya kehabisan akal bagaimana caranya mengumpulkan dana masyarakat untuk kemajuan olahraga. Alih-alih bermaksud baik, malah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat secara tajam. Karena pada akhirnya kebijakan tersebut menimbulkan dampak yang sangat buruk di masyarakat. Mereka terutama rakyat kecil membeli kupon untuk bermimpi indah mendapatkan uang ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Mereka mengotak-atik angka untuk diundi. Bahkan tidak sedikit yang pergi ke dukun meminta nomor jitu. Perdukunan merajalela. Syair lagu “Judi” begitu mengena dan mengingatkan masyarakat tentang bahayanya perjudian.
Pada konteks inilah peran sosial lagu Rhoma tercatat. Seluruh komponen bangsa seperti terhenyak dengan hadirnya lagu “Judi”. Keberanian Rhoma mengkritik kebijakan pemerintah yang beroma judi melalui lagu patut diapresiasi. Setidaknya lagu ini ikut memberikan masukan agar pemerintah jangan aneh-aneh membuat kebijakan untuk masyarakat.
Lagu ini juga yang mengangkat memori penggemar generasi pertama yang mungkin saja lahir pada tahun 1930 sd 1950 an. Dan lagu ini pula yang menjadikan “jembatan” ke generasi penggemar berikutnya yang lahir tahun 60 sd 70 an hingga tahun 90 an. Ini tidak lain akibat pengaruh media penyiaran televisi dan radio yang begitu massif sampai pelosok-pelosok kampung.
Masyarakat yang belum mengenal menjadi tahu mengenai sosok Rhoma Irama khususnya bagi generasi baru pada tahun itu. Saya merupakan salah satu penggemar yang mulai menggemari sejak mendengar lagu “Judi” di awal-awal bulan Mei 1988 itu. Sampai sekarang lagu tersebut relatif menjadi sebuah asosiasi bagi Rhoma Irama. Ingat “Judi” ingat Pak Haji. Judi…. Teeet.. Begitu masyarakat membuat memori.
Sejak itu Rhoma kerap tampil di televisi swasta terutama TPI (Televisi Pendidikan Indonesia). Rhoma dan dangdut seperti dimanjakan di televisi ini. Hampir setiap waktu tampil. Tidak hanya konser live, TPI juga menyajikan kuis dangdut yang dipandu oleh Jaja Miharja. Menyusul dari televisi ini pula kontes dangdut dimulai. Penyanyi-penyanyi dangdut baru bermunculan bak’ jamur di musim hujan. Masyarakat pun menilai televisi ini sudah berubah bukan lagi sebagai televisi pendidikan tetapi sudah sebagai televisi dangdut.
Seringnya Rhoma dan Soneta tampil di TPI bukan tanpa sorotan. Banyak orang menilai karena faktor kedekatan Rhoma dengan sang pemilik, Siti Herdiati Rukmana atau dikenal dengan nama Mba Tutut, yang tidak lain anak dari penguasa Orde Baru. Mba Tutut menyukai dangdut. Pernah suatu hari bernyanyi diiringi Rhoma dan Soneta secara live. Pernah juga bernyanyi bersama mantan Gubernur DKI Basofi Sudirman, yang ngetop dengan lagu “Tidak Semua Laki-Laki”.
Hiruk-pikuk dangdut semakin ramai dengan tampilnya Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono saat itu, yang sangat dikenal sangat hati-hati berbicara menyampaikan kebijakan pemerintah. Moerdiono pun ikut bernyanyi dangdut. Beberapa kali satu panggung dengan Soneta.
Kehadiran tiga tokoh besar Mba Tutut, Moerdiono dan Basofi Sudirman relatif ikut membuat dangdut naik kelas. Para pejabatpun semua bernyanyi lagu dangdut. Dangdut seperti mendapatkan “karpet merah” di singgasana kekuasaan.
Jika dicermati, ini semua bukan saja para pejabat itu memang menyukai lagu dangdut. Tetapi karena penggemar dangdut mayoritas adalah rakyat kecil yang jumlahnya seratusan juta orang. Mereka sadar dangdut menyimpan potensi massa yang luar biasa, yang mengandung makna elektoral dan kelak memberikan pencitraan yang positif. Dan yang jauh lebih penting dan strategis adalah karena ketokohan raja dangdut yang luar biasa.
Saya melihat pada momentum inilah dangdut mulai “terlibat” dalam hiruk pikuk politik praktis. Jika sekarang penyanyi-penyanyi dangdut menikmat panggung-panggung kampanye, maka harus berterima kasih karena ada tokoh dan sejarah yang memulainya.
Mengapa tidak terjadi pada tahun 70 hingga 80 an. Diperkirakan tahun-tahun ini dangdut meskipun sudah populer tetapi belum terseret untuk menggaet-gaet massa. Rhoma pada saat itu memang menggunakan dangdut untuk mengumpulkan massa kampanye tetapi saat itu sepi dari pemberitaan koran cetak dan liputan media televisi.
Selain “aspek politik” di atas, TPI bukan saja beruntung karena menjadi media penyiaran dengan rating yang sangat tinggi karena menjadi televisi dangdut, tetapi dampak ikutan lainnya adalah mendapatkan iklan yang melimpah. Dengan daya siar yang hampir ke pelosok daerah, TPI seperti “berkuasa”. Ini yang membuat televisi swasta lainnya seperti dianaktirikan terutama dalam jangkauan penyiaran.
RCTI dan SCTV pun menuntut pemerintah agar diberikan hak yang sama agar dapat menjangkau lebih banyak lagi pelosok daerah. Ini sangat wajar karena pada hakikatnya
Frekwensi adalah milik publik, tidak boleh dimonopoli secara sepihak dan harus digunakan untuk kepentingan publik.
Akhirnya pemerintah pun memberikan restu kepada televisi swasta lainnya. Yang awalnya masyarakat harus memasang dekoder untuk menonton RCTI kini tidak lagi. Penggemar Rhoma dan Soneta pun khususnya yang di pelosok daerah akhirnya dapat menyaksikan idolanya melalui RCTI dan SCTV.
Hemat saya banyak peristiwa di tahun 90 an dalam konteks posisi sosial dan politik Rhoma Irama, setelah dirinya sering tampil di televisi. Misalnya fenomena Nada dan Dakwah bersama dai sejuta umat, KH. Zainuddin MZ.
Para pengamat melihat seperti ada tren baru dalam dunia gerakan dakwah keagamaan. Di tahun-tahun ini pula masyarakat kembali dikenalkan dengan konsep “sound of moslem” dimana Pak Haji konser bareng dengan Ust. Zainuddin MZ.
Di setiap konsernya Nada dan Dakwah mampu mengumpulkan puluhan ribu massa di berbagai pelosok kampung. Kiai yang dikenal sebagai dai sejuta umat ini sangat populer ditambah lagi kehadiran raja dangdut dengan sonetanya. Bisa dikatakan kedua tokoh inilah sebagai pengumpul massa terbesar dalam sepanjang sejarah Indonesia.
Tidak hanya duet dipanggung megah, merekapun saban penyelenggaraan sholat idul fitri selalu tampil bareng di Parkir Timur Senayan. Rhoma sebagai imam, Ustad Zainuddin penceramah dan Qorry Muamar ZA sebagai pentakbir.
Puluhan bahkan seratusan ribu jamaah selalu hadir memenuhi seluruh area parkir timur. Ini pula tercatat sepanjang sejarah merupakan sholat idul fitri di lapangan dengan jumlah massa yang besar.
Duet Rhoma dan Zainuddin MZ ibarat simbiosis mutualisme. Secara pribadi mereka sahabat dekat dan sama-sama pernah berbarengan menjadi jurkam kampanye PPP. Pak Kiai menggemari lagu-lagu Rhoma dan Rhoma menyukai isi dan gaya Zainuddin MZ.
Tampilnya duet ini juga mempengaruhi kazanah perpolitikan ketika itu. Banyak partai politik menduga “nada dan dakwah” merupakan agenda parpol tertentu atau setidaknya didomplengi kepentingan politik. Untuk urusan ini, Pak Kiai kerap membantah dan mengeluarkan jargon ” bahwa saya tidak kemana-mana, tetapi ada dimana-mana”
Dari segi pengumpulan jumlah massa, konser nada dan dakwah memang menjadi sangat seksi untuk disusupi agenda politik. Kepopuleran ini juga mengundang pengusaha dan seniman Setiawan Jodi serta penyair kawakan Rendra untuk tampil bareng. Suatu hari Rhoma bersama Soneta mengiringi Rendra membaca puisi di Parkir Timur Senayan. Begitu menarik dan syahdu.
Soleh Mohamad