Teknologi Prisma Efektif Tingkatkan Produksi Garam Nasional 1 Juta Ton Per Tahun
Jakarta |
Produksi garam industri mengalami peningkatan dari yang awalnya 1,2 juta ton per tahun, saat ini telah mencapai 2,2 juta ton per tahun, atau dengan kata lain mengalami peningkatan sebanyak 1 juta ton per tahun.
Peningkatan tersebut banyak disuplai sebagian besar dari Indonesia Timur, diantaranya PT Garam yang sudah beroperasi, ditambah sebanyak 4-5 perusahaan.
Hal itu dikemukakan oleh Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono saat meninjau ladang garam berteknologi prisma (tidak terkendala cuaca dan bisa panen setiap tahun) di wilayah Bungko Lor, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (5/08).
“Lahan seluas 400-500 hektare sudah berjalan dan sebentar lagi akan panen. Presiden Joko Widodo (Jokowi) direncanakan akan menyaksikan panen raya garam di sana. Kemudian 3.720 hektare ini baru selesai permasalahan lahannya, sebentar lagi kita akan buka lahan baru,” ujar Deputi Agung.
Dalam siaran persnya, Senin (5/8), Agung menyebutkan peninjauan ini untuk membuktikan kepada khalayak bahwa garam bisa menjadi sesuatu yang bernilai tinggi dan dapat dikembangkan dengan teknologi (prisma) yang relatif sederhana.
“Jadi, hasil produksi tidak hanya garam, tetapi bisa menghasilkan produk turunan seperti halnya minuman isotonik, artemia atau pakan udang dan kapur CaCO3, dan ini yang kita lihat pada hari ini dan bisa juga diproduksi menjadi garam spa dan garam kesehatan dan harganya menjadi melonjak,” jelas Agung yang mewakili Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan karena berhalangan hadir mengikuti Rapat Terbatas (Ratas) bersama Presiden Jokowi terkait ‘blackout’ listrik.
Ditambahkan oleh Agung, peninjauan hari itu sekaligus ingin mengenalkan dan mengajak para petambak garam di seluruh Indonesia untuk menerapkan teknologi serupa yang dapat memanen garam sepanjang tahun tanpa terkendala cuaca dan bisa menghasilkan produk turunan yang bernilai ekonomi tinggi.
“Kami ingin mengajak petambak garam di seluruh Indonesia untuk melakukan teknologi sepanjang tahun yang seperti kita lihat sekarang ini. Akan tetapi kita tidak bisa menerapkan teknologi seperti ini kalau lahan garamnya kecil, karena lahan garam yang bagus itu idealnya 400 hektar untuk penerapan satu teknologi,” tukasnya.
jadi intinya, sambung Agung, kita ingin mengenalkan masyarakat untuk mengembangkan garam ini secara bersama-sama. “Akan kita benahi dulu segala sesuatunya, seperti suplai air tuanya. Kita perbaiki ulir airnya, cara pemanenannya dan lain sebagainya,” tuturnya.
Sedangkan untuk menyiasati keterbatasan lahan milik para petambak garam, Agung menyebutkan, bahwa pihaknya mendorong para petambak garam untuk berkumpul dan bermufakat guna membentuk sebuah koperasi garam yang nantinya akan didukung oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
“Jadi, sifatnya kemitraan dan para petambak itu akan seperti pemegang sahamnya. Pasokan garam terbesar untuk industri terbesar ada dari Pantura, Madura dan Indonesia Timur seperti dari Nusa Tenggara Timur (NTT),” ujarnya.
Deputi Bidang Koordinasi SDA dan Jasa itu juga menjelaskan, permasalahan lahan ibarat masalah ‘klasik’ yang memerlukan penaganan seksama. Masalah tumpang tindih lahan masih menjadi hambatan untuk membuka ladang garam baru.
Namun demikian, pemerintah akan terus berupaya untuk menuntaskan permasalahan tersebut, di antaranya untuk menutup celah impor garam untuk memenuhi kebutuhan garam nasional.
“Ini ada potensi untuk menutup celah impor. Dalam waktu singkat kita ingin hal ini dapat terwujud, sebab ada masalah lahan disini dan ini tidaklah mudah sebab ada masalah tumpang tindih perizinan, tetapi apapun masalahnya dalam tahun ini kita akan menambah banyak sekali ladang-ladang garam baru,” pungkasnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Teknologi Informasi Energi dan Material Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) Eniya Listiani menuturkan, bahwa ladang garam untuk diterapkan teknologi tanpa terkendala hujan membutuhkan lahan seluas 400 hektar. Menurutnya karena memang ideal dan sudah banyak diterapkan di negara lain, contohnya di Australia.
Dijelaskan oleh Eniya, dari 400 hektar, sebanyak 90 persen untuk proses evaporasi (penguapan), dan 10 persen lahan kristalisasi. Dengan jalan seperti itu semisal petambak berkumpul dan membentuk suatu koperasi, dan BUMD yang mengelolanya, akhirnya para petani garam akan bisa mendapatkan seperti plasma sawit.
“Ada skalanya, ada skala 40 ton dan 60 ton misalnya. Jadi ini yang harus dibuat, bila sudah terintegrasi, kita tinggal membuat pabriknya dan hasilnya nanti 97 persen sudah pasti di tangan,” imbuh Deputi Eniya Listiani.
Seperti diketahui, garam yang kadar natrium klorida (NaCl) dengan impurities nya mendekati garam industri adalah garam dengan Kualitas Level 1 (K1).
Saat ini garam tidak termasuk komoditas yang diatur sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, sehingga harga pokok penjualannya (HPP)mengikuti mekanisme pasar, dan tidak diatur secara khusus oleh pemerintah.
Kemenko Maritim saat ini telah mengusulkan agar garam kembali dimasukkan ke dalam kategori barang kebutuhan pokok dan atau barang penting dengan dukungan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perdagangan (Kemendag) melalui pertimbangan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Badan Pusat Statistik (BPS), serta kementerian atau lembaga terkait lainnya.
Berita: Mh | Foto: Istimewa/Humas